Likuiditas bank masih ketat. Tim Ekonom Bank Mandiri mencatat rasio kredit terhadap dana pihak ketiga (DPK) atau loan to deposit ratio (LDR) industri perbankan mencapai 94% pada Desember 2018. Ini merupakan yang tertinggi dalam lebih dari 10 tahun. Penyebabnya, peningkatan pertumbuhan kredit perbankan yang tidak disertai dengan pertumbuhan DPK yang memadai.
Pada 2018 lalu, pertumbuhan kredit perbankan mencapai 11,8%, ini merupakan yang tertinggi sejak 2013. Namun, DPK hanya tumbuh sebesar 6,4%, terendah sejak September 2016. Adapun pertumbuhan DPK yang rendah pada 2016 bersifat temporer karena adanya pembayaran uang tebusan oleh wajib pajak yang mengikuti program pengampunan pajak (tax amnesty).
(Baca: Rasio Likuiditas Capai 94%, OJK Yakin Kredit Bank Masih Lancar)
Secara khusus, Tim Ekonom Bank Mandiri menyoroti LDR bank umum kegiatan usaha I, II, dan III. Bank BUKU I merupakan bank bermodal inti kurang dari Rp 1 triliun, BUKU II bermodal inti Rp 1 triliun – Rp 5 triliun, dan BUKU III bermodal inti Rp 5 triliun – Rp 30 triliun.
“(LDR) cenderung berada di atas level aman Bank Indonesia,” demikian tertulis dalam kajian harian Tim Ekonom Bank Mandiri yang dirilis, Selasa (26/2). Pada Desember 2018 lalu, LDR bank BUKU I tercatat mencapai 103,4%, BUKU II 94%, dan BUKU III 92,3%. Ini di atas batas aman yang ditetapkan Bank Indonesia (BI) yaitu 92%.
Di sisi lain, LDR bank BUKU IV yang bermodal inti di atas Rp 30 triliun tercatat masih berada di batas aman yaitu 89,9% pada Desember 2018, meskipun lebih tinggi dibandingkan November 2018 yang sebesar 89%. Penyebab kenaikan yaitu pertumbuhan DPK yang melambat signifikan dari 10,6% pada November menjadi 7,6% pada Desember. Sementara itu, pertumbuhan kredit melambat, namun masih relatif tinggi yaitu sebesar 12,5%.
(Baca: Likuiditas Ketat, Bank Dukung Otoritas Kendalikan Bunga Deposito)
Meski masih di bawah batas aman, tim ekonom Bank Mandiri menekankan bank-bank BUKU IV tetap harus meningkatkan pertumbuhan DPK untuk menjaga agar likuiditas tetap aman.
Di tengah LDR yang tinggi, akses likuiditas bank-bank bermodal kecil – BUKU I dan II -- juga relatif terbatas. Ini tercermin dari kepemilikan surat berharga yang tidak sebanyak bank bermodal besar. Padahal, surat-surat berharga diperlukan untuk memperoleh pendanaan jangka pendek di pasar repo saat dibutuhkan.
Secara rinci, bank BUKU I dan II hanya memiliki rasio kepemilikan surat berharga terhadap total aset sebesar masing-masing 6,3% dan 2,3%, sedangkan bank BUKU III dan IV memiliki rasio yang jauh lebih besar yakni masing-masing 14,2% dan 9,7%.
(Baca: Dua Bank BUMN Punya Strategi Mengatasi Ketatnya Likuiditas)
Maka itu, Tim Ekonom Bank Mandiri menilai bank-bank bermodal kecil perlu terus didorong untuk meningkatkan kepemilikan atas surat berharga agar akses terhadap pendanaan jangka pendek melalui pasar interbank ataupun melalui fasilitas likuiditas yang diberikan oleh BI dapat lebih terbuka.
Adapun BI telah menambah instrumen term repo dari yang sebelumnya hanya memiliki tenor satu bulan menjadi memiliki tenor tiga bulan. “Hal ini bertujuan untuk menjaga agar tidak terjadi shock likuiditas dalam jangka pendek,” demikian tertulis. Ke depan, bauran kebijakan BI pun disebut akan lebih diarahkan dalam menjaga likuiditas di sistem perbankan.
(Baca: Dorong Pembiayaan Ekonomi, BI Siapkan Kebijakan Makroprudensial)
Meski ada sokongan likuiditas dari BI, Tim Ekonom Bank Mandiri menekankan bank tetap harus mendorong DPK tumbuh lebih tinggi untuk mengurangi terjadinya funding gap (jurang pendanaan) yang lebih besar. Sebab, likuiditas yang diberikan BI lewat fasilitas term repo lebih bersifat jangka pendek dan tidak terlalu berdampak besar terhadap likuiditas jangka panjang.