Penyaluran kredit PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) hingga kuartal III 2018 tumbuh 19,28% menjadi Rp 220,08 triliun. Pertumbuhan kredit BTN ini merupakan yang tertinggi di antara bank-bank BUMN maupun rata-rata industri yang mencapai 12,69% per September 2018.
Pada kuartal III 2018, pertumbuhan kredit PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) mencapai 13,8% menjadi Rp 781,1 triliun. Penyaluran kredit PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) tumbuh 15,6% menjadi Rp 487,04 triliun sedangkan kredit PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) meningkat 16,5% menjadi Rp 808,9 triliun.
Pertumbuhan kredit BTN ditopang oleh Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bersubsidi yang melejit 30,11% menjadi Rp 88,93 triliun. Adapun KPR non-subsidi naik 13,22% menjadi Rp 74,69 triliun. Secara total, laju KPR BTN hingga kuartal III 2018 mencapai 21,81% menjadi Rp 163,62 triliun.
"Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) memberikan angin segar terhadap laju pertumbuhan kredit BTN yang lebih tinggi," kata Direktur Utama BTN Maryono, dalam paparan kinerja di Kantor Pusat BTN, Jakarta, Kamis (25/10). Untuk Program Sejuta Rumah, penyaluran KPR subsidi hingga September 2018 mencapai 260.584 unit sedangkan KPR non-subsidi sebanyak 126.744 unit. Angka ini mencapai 76% dari target BTN tahun ini, yakni KPR subsidi 408.350 unit dan KPR non-subsidi 166.094 unit.
Selain KPR, BTN menyalurkan kredit konstruksi properti Rp 28,45 triliun, naik 17,4% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, penyaluran kredit non-perumahan BTN meningkat 13,5% menjadi Rp 19,67 triliun. KPR berkontribusi 74,35% terhadap total kredit, kredit konstruksi 12,93%, sedangkan kredit non-perumahan 12,72%.
Kencangnya pertumbuhan kredit perusahaan diimbangi pengumpulan dana pihak ketiga (DPK) yang meningkat 16,06% menjadi Rp 195,05 triliun. Deposito tumbuh paling tinggi, yakni 21,43% menjadi Rp 104,88 triliun. Tabungan naik 12,95% menjadi Rp 41,98 triliun sedangkan giro naik 8,25% menjadi Rp 48,18 triliun.
Meski demikian, laju kredit yang lebih tinggi dibandingkan kenaikan DPK menyebabkan loan to deposit ratio (LDR) BTN mencapai 112,83%. LDR ini meningkat 304 basis poin (bps) dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Oleh karena itu, BTN juga mengandalkan sumber pendanaan lain untuk mendukung penyaluran kredit, misalnya sekuritisasi aset, penerbitan obligasi, dan lain-lain.
Maryono mengatakan, meski pertumbuhan kredit tinggi, BTN mampu menekan rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) gross sebesar 42 bps menjadi 2,65%. Hingga akhir tahun ini, BTN optimistis NPL gross akan berada di bawah 2,4%.
(Baca: BTN Targetkan Akuisisi Manajemen Investasi Tuntas November 2018)
Pertumbuhan Laba Melambat
Dalam paparan kinerja tersebut, Maryono juga mengatakan, laba bersih perseroan hanya tumbuh 11,5% menjadi Rp 2,24 triliun. Angka ini melambat dibandingkan pertumbuhan laba bersih kuartal III 2017 yang mencapai 24%.
Direktur Keuangan BTN Iman Nugroho Soeko mengatakan, perlambatan laba bersih disebabkan perseroan mengantisipasi pemberlakuan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71 pada 2020. Hal ini menyebabkan BTN harus meningkatkan Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Aset (CKPN). "Coverage ratio kita sekarang 46,19% sedangkan kuartal III tahun lalu 40,61%. Ini salah satu upaya untuk mempersiapkan CKPN 2020," ujarnya.
Menurut PSAK 71, bank harus menghitung CKPN berdasarkan perkiraan kerugian kredit yang akan terjadi. Sementara pada PSAK 51, CKPN dihitung berdasarkan kerugian yang sudah terjadi. "BTN berbeda dengan bank lain yang kreditnya berdasarkan cashflow, kita berdasarkan aset jaminan (kolateral). Dengan expected credit loss, CKPN akan lebih tinggi," jelas Iman.