Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyatakan lembaga non-finansial bisa saja menyelenggarakan perdagangan mata uang virtual seperti bitcoin tanpa meminta izin institusinya. Sebab, perizinan untuk non-finansial memang bukan di OJK.
“Kalau (perdagangan produk investasi) dilakukan sektor jasa keuangan baik itu melalui bank melalui asuransi melalui apa itu harus dilaporkan ke OJK sebelum dilakukan, tapi itu (perdagangan mata uang virtual) kan bisa saja terjadi tidak melalui sektor jasa keuangan bisa saja kalau itu yang dilakukan,” kata Wimboh di Kementerian Keuangan, Selasa (23/1).
Namun, ia tak menerangkan, institusi yang semestinya berwenang mengurus aktivitas yang dimaksud. “Di luar sektor jasa keuangan tentunya ada otoritas lain yang barangkali berkewajiban melakukan,” ucapnya. (Baca juga: Gelar Rapat Perdana, KSSK Pantau Ancaman Harga Minyak dan Bitcoin)
Meski begitu, ia menekankan, pihaknya akan terus mengedukasi masyarakat supaya mengetahui risiko berinvestasi mata uang virtual. Dengan begitu, jika merugi di kemudian hari maka tidak akan menyalahkan otoritas lantaran merasa tidak diedukasi.
Adapun Kementerian Keuangan baru saja mengeluarkan peringatan terkait mata uang virtual. Kemenkeu menekankan penggunaan mata uang virtual sebagai alat pembayaran dilarang, sebagaimana sudah berulangkali disampaikan Bank Indonesia (BI). (Baca juga: BI Siapkan Sanksi Dua Kafe Penerima Bitcoin di Bali)
Kemenkeu menyatakan, lantaran belum ada otoritas yang mengatur dan mengawasi, mata uang virtual rawan digunakan untuk transaksi ilegal, pencucian uang dan pendanaan terorisme. Selain itu, ketidakjelasan underlying asset (jaminan aset) yang mendasari nilai mata uang virtual dapat menimbulkan risiko pengggelembungan nilai (bubble) yang tidak hanya merugikan masyarakat, namun berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.