Kementerian Keuangan merilis sederet aturan untuk menutup celah penghindaran pajak, di antaranya aturan mengenai kewajiban pajak bagi warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki saham atau perusahaan di luar negeri nonbursa (controlled foreign corporation/CFC). Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol menjelaskan, selama ini aturan yang ada terlalu lemah sehingga wajib pajak mudah menghindari pajak terkait.

Ia menyatakan, ketentuan tersebut sebelumnya diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 256 Tahun 2008. Dalam aturan itu disebutkan bahwa penyertaan modal pada perusahaan luar negeri nonbursa yang wajib membayar pajak adalah 50%. Alhasil, wajib pajak memecah-memecah (fragmentasi) saham sehingga besarannya di bawah 50% agar tidak perlu membayar pajak.

"Memecah saham di luar negeri itu salah satu kelemahan dari PMK 256. PMK itu sederhana sekali untuk dihindari, dengan cara memecah-mecah kepemilikan saham, sehingga dia tidak terkena peraturan CFC," ujar dia di kantornya, Jakarta, Senin (4/9). (Baca juga: Pemerintah Target Penerimaan Negara Naik Rp 142 Triliun di 2018)

Selain itu, menurut John, modus lain penghindaran pajak adalah dengan mendirikan perusahaan perantara. Bisa juga dengan mengatur pembagian dividen yang nilainya tidak material, sehingga terbebas dari pungutan pajak. Maka itu, pemerintah kemudian menerbitkan aturan pengganti yaitu PMK Nomor 107 Tahun 2017.

Adapun PMK anyar tersebut memuat sejumlah ketentuan baru. Pertama, penyertaan modal melingkupi langsung dan tidak langsung. Kedua, adopsi istilah CFC menjadi badan usaha luar negeri non bursa terkendali. Ketiga, pengaturan aset atas diperolehnya dividen dari perusahaan yang bukan terbuka (deemed dividend). Keempat, perhitungan besarnya deemed dividend. Kelima, perhitungan kredit pajak luar negeri (foreign tax credit). Terakhir, penambahan contoh perhitungan dalam lampiran.

Aturan ini diharapkan bisa menurunkan risiko penghindaran pajak melalui pengalihan penghasilan (profit shifting) ke anak perusahaan, terutama di negara suaka pajak (tax haven), termasuk untuk mencegah praktik transfer pricing yang merugikan. Selain itu, aturan CFC juga diharapkan bisa meningkatkan basis penerimaan perpajakan yang berasal dari deemed dividend.

John pun yakin kebijakan ini tak akan merugikan pengusaha, kecuali yang memang berencana menghindari pajak. Sebab, dengan aturan ini diharapkan basis pajak meningkat serta mendorong penerimaan pajak meningkat. Dengan begitu, uang pajak bisa semakin mendorong pembangunan dan perekonomian. Meski begitu, ia enggan menyebutkan potensi penerimaan pajak yang bisa diperoleh dengan adanya aturan tersebut.

Adapun pemerintah telah menerbitkan sederet peraturan baru – primer dan turunan –untuk menutup celah penghindaran pajak. Beberapa di antaranya yaitu Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Kemudian, PMK Nomor 107 Tahun 2017 tentang penetapan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek.

Selain itu, Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor 10 Tahun 2017 tentang tata cara penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda. Adapun ketentuan tersebut juga bisa diterapkan pada e-commerce. Ada juga Perdirjen Pajak Nomor 8 Tahun 2017 tentang surat keterangan domisili bagi subjek pajak dalam negeri Indonesia dalam rangka penerapan persetujuan penghindaran pajak berganda. (Baca juga: Teken Anti-Penghindaran Pajak, RI Mudah Tarik Pajak Google & Facebook)