Dalam sebulan terakhir, sejumlah bank milik negara (BUMN) gencar menerbitkan obligasi rupiah. Aksi korporasi ini dilakukan setelah lembaga pemeringkat internasional Standard & Poor’s (S&P) menaikkan peringkat kredit Indonesia ke level layak investasi (investment grade). Imbasnya, imbal hasil cenderung turun sehingga beban biaya yang ditanggung penerbit obligasi berkurang.

Saat ini, dua bank pelat merah yaitu PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) baru saja merampungkan masa penawaran awal penerbitan obligasinya. Penawaran awal obligasi BTN senilai Rp 5 triliun berakhir Senin pekan lalu (19/6). Namun, manajemen perusahaan belum bersedia mengungkapkan hasilnya hingga akhir penawaran umum pada 7 Juli mendatang.

Adapun, masa penawaran awal obligasi BNI senilai Rp 3 triliun telah rampung pada 16 Juni lalu. Berbeda dengan BTN yang menerbitkan empat seri obligasi dengan peringkat AA+ dari Pefindo, BNI hanya akan merilis satu seri surat utang dengan peringkat AAA. (Baca: BI: Dana Asing Masuk Rp 122 Triliun Didukung Peringkat S&P)

Lantaran obligasi tersebut dijajakan pada waktu yang bersamaan, seorang pelaku pasar menyatakan, dua bank pelat merah itu mesti berebut calon pembeli. “Sama-sama menarik karena diterbitkan oleh bank pemerintah,” katanya, Kamis lalu (22/6).

Sebagai gambaran, BTN antara lain menawarkan kupon berkisar 7,65-8,3 persen untuk obligasi Seri A bertenor 3 tahun dan Seri B tenor 5 tahun dengan kupon 7,95-8,5 persen. Proses penjualannya dibantu oleh penjamin emisi BCA Sekuritas. Sedangkan kupon obligasi BNI bertenor 5 tahun yang dijajakan oleh BNI Sekuritas ini sebesar 7,7- 8,2 persen.

Langkah BTN dan BNI menerbitkan obligasi ini seakan ingin mengekor kesuksesan saudaranya sesama bank BUMN, yaitu PT Bank Mandiri Tbk. Bank berlogo pita emas ini meraup dana segar sebesar Rp 6 triliun setelah merampungkan proses penerbitan obligasi pada 16 Juni lalu. (Baca: Bank Mandiri Terbitkan Obligasi Rp 6 Trilun Danai Proyek Infrastruktur)

Awalnya, Bank Mandiri berencana menerbitkan obligasi senilai Rp 5 triliun untuk mendukung ekspansi kreditnya yang ditargetkan tumbuh 13 persen atau lebih tinggi dari target industri perbankan sebesar 11-12 persen tahun ini. Namun, obligasi berperingkat AAA ini menuai respons positif dari para investor. Penawaran yang masuk mencapai Rp 8,92 triliun alias kelebihan permintaan (oversubscribe) sebanyak 1,79 kali.

Karena itulah, Bank Mandiri menaikkan nilai emisi obligasinya menjadi Rp 6 triliun. Yang menarik, bank terbesar ketiga dari sisi nilai kapitalisasi pasar di Indonesia setelah Bank Central Asia (BCA) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) ini percaya diri menjual satu seri obligasi tanpa kupon (zero coupon bond) senilai Rp 1 triliun.

“Kami bank pertama di Indonesia yang menerbitkan obligasi tanpa kupon,” kata SVP Treasury Bank Mandiri Farida Thamrin. Obligasi tanpa bunga dengan tenor tiga tahun ini memiliki imbal hasil (yield) 7,80 persen. Sisanya, obligasi dengan berbagai jangka waktu, di antaranya obligasi bertenor lima tahun dengan kupon 8 persen.

Tak mau ketinggalan, BRI juga ingin kembali menerbitkan obligasi sebesar Rp 5 triliun pada paruh kedua tahun ini.Sebelumnya, BRI sudah merilis obligasi Rp 4,6 triliun pada kuartal IV tahun lalu dan sebesar Rp 5,1 triliun di awal tahun ini. Semuanya bagian dari obligasi Penawaran Umum Berkelanjutan (PUB) senilai total Rp 20 triliun.

Wakil Direktur BRI Sunarso menyebut kondisi ekonomi yang sedang bagus merupakan waktu tepat untuk menerbitkan obligasi. "Peringkat utang kami juga baik. Dengan situasi seperti itu, kenapa tidak (menerbitkan obligasi)?" Namun, dia belum mau merinci waktu merealisasikan hajatan tersebut.

Semua dana hasil penerbitan obligasi tersebut digunakan para bank pelat merah untuk mendanai ekspansi kredit tahun ini, yang ditargetkan melaju ketimbang tahun lalu. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat pertumbuhan kredit mencapai 10,4 persen per akhir Mei lalu.

(Baca: Danai Infrastruktur, Kredit Bank Kembali Tumbuh di Atas 10 Persen)

Bahkan, menurut Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad, pertumbuhan kredit bank-bank BUMN mencapai 14 persen. Sedangkan OJK memproyeksikan pertumbuhan kredit sepanjang tahun ini sekitar 9-12 persen.

Analis dari Binaartha Sekuritas, Reza Priyambada, menyatakan dengan pulihnya kondisi ekonomi dalam negeri maka memungkinkan perusahaan melakukan ekspansi usaha. Untuk itu, perusahaan mencari pendanaan eksternal, salah satunya lewat penerbitan obligasi.

Di sisi lain, optimisme para investor saat ini dimanfaatkan perusahaan menerbitkan obligasi dengan harapan akan laku terjual. Selain perbaikan kondisi ekonomi di dalam negeri, optimisme investor ditopang oleh kenaikan peringkat kredit Indonesia ke level layak investasi (investment grade) dari S&P pada Mei lalu.

Peringkat layak investasi ini memang meningkatkan animo pemodal asing terhadap instrumen-instrumen investasi di Indonesia. Hal itu setidaknya tercermin dari terus menurunnya imbal hasil surat utang negara (SUN).

Pada Kamis pekan lalu (22/6), imbal hasil obligasi negara bertenor 10 tahun sebesar 6,824 persen atau menurun 3,2 persen dari posisi 7,049 saat S&P menyematkan peringkat layak investasi Indonesia. Sedangkan imbal hasil SUN acuan tenor 5 tahun sebesar 6,672 persen menurun dari posisi 6,731 persen.

Di sisi lain, indeks obligasi IBPA pada 22 Juni lalu mencapai 227,179. Angkanya meningkat dibandingkan sebulan sebelumnya saat peringkat S&P dirilis yaitu sebesar 223,891. Ini menunjukkan tingginya animo investor terhadap obligasi di dalam negeri.