Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) membatalkan beberapa transaksi untuk memperbaiki laporan keuangannya yang dicap “disclaimer” oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Di antara transaksi yang dibatalkan adalah pengadaan 600 unit kapal penangkap ikan dan pembelian tanah Pertamina di Pelabuhan Ratu.
“BPK memberi kami waktu 60 hari untuk berbenah, menjawab semua yang direkomendasikan,” kata Inspektur Jenderal KKP Muhammad Yusuf kepada Katadata, Kamis (15/6).
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tersebut kemudian menyebutkan beberapa pembenahan yang telah dilakukannya untuk menjawab berbagai rekomendasi BPK.
(Baca juga: Laporan Keuangan Bermasalah, KKP Siap Diperiksa Khusus BPK)
Ia menjelaskan, tahun lalu KKP berencana mengadakan 1.354 unit kapal untuk nelayan. Dari jumlah itu, ternyata hanya 754 unit yang dapat diproses. “Jadi yang 600 batal kontrak. Galangan mengirim surat ke kami, menyatakan ketidaksanggupannya. Kami berharap ini bisa diterima BPK,” tuturnya.
Di antara pesanan kapal yang diproses, Yusuf menyebut, sebanyak 576 unit kini telah diserahterimakan ke koperasi-koperasi nelayan. Sementara 12 unit kapal telah diserahkan, namun tanda terimanya belum ada.
Selain itu, 101 unit kapal sedang dalam proses pengiriman, 29 unit sudah jadi namun belum dikirimkan, dan 31 unit masih dalam tahap pengerjaan di galangan. Ada pula 5 kapal yang hanyut di perjalanan.
Pengiriman memang bisa menjadi masalah sendiri. Sebab, nelayan yang menjadi sasaran proyek ini berada di wilayah-wilayah seperti Natuna, Rote, hingga Talaud. “Lima kapal yang hanyut itu sudah ditemukan, tapi mesinnya hilang. Akan kami ganti,” kata Yusuf.
(Baca juga: Laporan Keuangan KKP Bermasalah, BPK Tunggu Klarifikasi Lanjutan)
Selain dalam pengadaan kapal, cacat lain dalam laporan keuangan Kementerian yang dipimpin oleh Susi Pudjiastuti ini menyangkut masalah pembelian tanah PT Pertamina (Persero) di Pelabuhan Ratu.
Dalam transaksi bernilai total Rp 47,34 miliar yang dijalankan pada 2014 ini, Pertamina seharusnya telah menyerahkan tanah yang akan digunakan sebagai pelabuhan perikanan tersebut. Kenyataannya, hingga saat BPK melakukan audit, tanah itu masih berpenghuni.
Tak ingin prosesnya berlarut-larut, Yusuf menyatakan telah membatalkan transaksi itu. “Pertamina sudah setuju. Uang Rp 20,7 miliar yang pernah kami bayarkan akan dikembalikan ke kas negara,” ujarnya.
Produksi Ikan di Pelabuhan Basis Kapal Lokal
Hal lain yang dipermasalahkan BPK adalah soal kepemilikan tanah di Jawa Timur. KKP harus menindaklanjuti kepemilikan tanah yang didapatnya berdasarkan perjanjian ruislag antara Departemen Pertanian dengan pihak swasta tahun 1998 dan diputuskan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) pada tahun 2009.
Hanya, dokumen perjanjian tersebut tidak lengkap karena saat itu KKP masih berada di bawah Departemen Pertanian. “Kami akan menghadap Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan untuk mencari win-win solution.”
Setelah perbaikan yang dilakukan, KKP berharap BPK akan menjalankan Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT). Pemeriksaan lanjutan ini dilakukan untuk memastikan ada atau tidaknya unsur pidana dalam maladministrasi laporan keuangan KKP.
“Dengan PDTT akan jelas ini pidana atau bukan. Saya butuh itu, saya tidak mau pimpinan saya namanya jadi jelek karena (opini disclaimer BPK) ini,” kata Yusuf.
(Baca juga: Menteri Susi: Tak Puas Kinerja Saya, Ajukan Mosi ke Presiden!)