Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi data keuangan untuk perpajakan, mengundang kekhawatiran sebagian pihak. Perppu yang baru diteken Presiden Joko Widodo 8 Mei lalu ini bisa disalahgunakan petugas pajak sehingga merugikan nasabah. Untuk itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan meningkatkan pengawasan internal.

Menurut dia, salah satu upaya reformasi perpajakan dengan mendorong peran masyarakat dalam melaporkan praktik-praktik penyimpangan pajak, termasuk oleh petugas pajak. Peran itu bisa dilakukan oleh ‘peniup peluit’ (whistle blower), yakni orang dalam yang melaporkan suatu perbuatan melawan hukum di lingkungan atau institusi tempatnya bekerja.

Rencananya, Kementerian Keuangan akan memperkuat whistle blower system sebagai wadah pelaporan masyarakat yang mengetahui atau menerima perlakuan menyimpang dari petugas pajak. Penguatan peran si peniup peluit itu juga dipayungi oleh peraturan.

(Baca: Pemerintah Susun Aturan Cegah Data Nasabah Disalahgunakan Pajak)

 "Saya minta di Kemenkeu perkuat whistle blower system dalam rangka untuk memberi wadah di masyarakat yang merasa tidak nyaman atau mendapat perlakuan dari aparat pajak yang tidak disiplin, tingkah laku, apalagi ingin lakukan kepentingan sendiri," kata Sri Mulyani di Jakarta, Kamis (18/5).

Selama ini, menurut dia, memang sudah ada aturan terkait whistle blower. "Tapi saya minta diperkuat dan disosialisasikan. Jadi masyarakat punya saluran kalau dapat perlakuan tidak adil atau tidak sesuai perundang-undangan oleh aparat pajak kami," ujarnya.

Penguatan sistem whistle blower ini sebenarnya sudah banyak diterapkan di negara lain, salah satunya di Amerika Serikat (AS). Bahkan, cara ini dianggap lebih efektif dengan memberikan insentif bagi seorang peniup peluit sebesar 15 hingga 30 persen dari pajak yang dilaporkannya.

Di Indonesia, langkah seperti ini sudah dikembangkan. Sayangnya, perlindungan bagi si peniup peluit masih minim, dan tidak ada insentif yang diberikan. Alhasil, orang enggan melaporkan praktik-praktik penyimpangan yang terjadi di sekitar lingkungannya.

(Baca: Banyak Manfaat dari Perppu Buka Data Bank, Sri Mulyani Harap Restu DPR)

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo pernah mengatakan, penguatan peran whistle blower sebenarnya lebih efektif ketimbang keterbukaan informasi data keuangan. Persoalannya, hal tersebut selama ini tidak didukung dengan perlindungan yang ketat.

Meskipun payung hukumnya sudah ada, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Selain itu, UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang secara jelas menyatakan bahwa lembaga itu wajib melindungi saksi pelaku.

Ketentuan tentang perlindungan bagi saksi dan pelapor itu juga diperkuat dalam UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Aturan itu lantas ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus terhadap Pelapor dan Saksi. “Tidak ada insentif, tidak ada perlindungan, malah repot. Tiga hal itu harus diatasi,” kata Prastowo.

(Baca: Perppu Data Nasabah Diprotes Pengusaha, DPR Panggil Pemerintah)

Alhasil, masyarakat Indonesia masih khawatir menghadapi risiko jika menjadi whistle blower. Risiko itu seperti ancaman turun pangkat, skorsing, bahkan dipecat dari pekerjaannya. Bahkan, laporan seseorang terkait kasus korupsi ke aparat penegak hukum juga bisa menjadi bomerang bagi dirinya.