Perbankan dan lembaga jasa keuangan lainnya akan mulai melaporkan data keuangan nasabah kepada Direktorat Jenderal pajak (Ditjen Pajak) secara berkala. Kewajiban tersebut muncul setelah Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang akses informasi untuk kepentingan perpajakan pada 8 Mei lalu.
Data keuangan yang dilaporkan bukan hanya milik nasabah asing sebagaimana sempat diwacanakan, namun juga data nasabah lokal. "Berlaku untuk keduanya (nasabah asing dan lokal)," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di kantornya, Jakarta, Selasa (16/5). (Baca juga: Jokowi Teken Perppu Kewajiban Bank Lapor Data Nasabah ke Pajak)
Perppu yang berlaku efektif sejak diundangkan tersebut menjadi landasan bagi pemerintah untuk melaksanakan kerja sama internasional pertukaran informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait pajak yang berlaku efektif mulai 2018 mendatang.
Kerja sama global yang diinisiasi organisasi internasional Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) tersebut mulai dilaksanakan oleh 50 negara atau yuridiksi pada 2017 ini, dan akan diikuti 50 negara atau yuridsiksi lainnya, termasuk Indonesia pada tahun depan. (Baca juga: Ditjen Pajak Bidik Rp 4.000 Triliun Harta di Luar Negeri Lewat AEoI)
Mengacu pada Perppu anyar tersebut, ada sejumlah data yang wajib dilaporkan lembaga keuangan secara berkala, di antaranya identitas pemegang rekening keuangan; nomor rekening keuangan; identitas lembaga jasa keuangan; saldo atau nilai rekening keuangan; dan penghasilan yang terkait dengan rekening keuangan.
Di luar itu, lembaga jasa keuangan juga wajib memberikan data tambahan berupa informasi, bukti, atau keterangan bila diminta oleh Direktur Jenderal Pajak. Nantinya, seluruh data keuangan yang diperoleh bakal digunakan sebagai basis data perpajakan oleh Ditjen Pajak.
Secara rinci, Lembaga jasa keuangan yang diwajibkan melapor, yaitu perbankan, perasuransian, pasar modal, dan lembaga jasa keuangan atau entitas lain yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan berdasarkan perjanjian internasional di bidang perpajakan.
Bila lembaga jasa keuangan tidak patuh terhadap ketentuan Perppu, maka terancam denda paling banyak Rp 1 miliar. Adapun, pimpinan ataupun pegawai lembaga jasa keuangan yang tidak memberikan data yang sebenarnya terancam pidana kurungan paling lama setahun atau denda maksimal Rp 1 miliar.
Menurut Darmin, setelah terbitnya Perppu tersebut maka masing-masing otoritas terkait, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan dan Ditjen Pajak bakal menerbitkan aturan turunannya. "Ya masing-masing saja (mengatur) enggak lagi atur satu sama lain lembaganya," ujar dia.
Sebelumnya, Menteri Keuangan sudah duluan menerbitkan aturan teknis terkait pelaksanaan AEoI, yaitu PMK Nomor 39/PMK.03/2017 tentang tata cara pertukaran informasi berdasarkan perjanjian internasional. PMK tersebut terbit pada awal Maret lalu. (Baca juga: Aturan Terbit, Data Nasabah Asing Mulai Disetor ke Ditjen Pajak)
PMK tersebut mengatur secara detail tentang prosedur pertukaran informasi keuangan nasabah asing dengan negara mitra, termasuk jenis informasi yang dipertukarkan. Informasi yang dimaksud dibagi menjadi tiga yaitu yang harus berdasarkan permintaan, yang bisa diminta secara spontan, dan informasi yang secara otomatis harus disampaikan.
Secara rinci, jenis informasi yang akan dipertukarkan secara otomatis dengan negara mitra, yaitu informasi terkait pemotongan pajak penghasilan, informasi keuangan nasabah asing, informasi laporan per negara, dan informasi perpajakan lainnya berdasarkan kesepakatan Indonesia dengan negara mitra.
Dalam PMK tersebut juga diatur mekanisme pelaporan informasi keuangan oleh lembaga keuangan kepada Ditjen Pajak. Pelaporan bisa dilakukan secara langsung atau melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK).