Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada 22 bank dengan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) gross di atas lima persen pada Januari 2017. Rasio tersebut di atas rata-rata NPL industri yang sebesar 3,09 persen. Langkah restrukturisasi kredit pun dilakukan bank terutama untuk sektor pertambangan dan industri pengolahan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon menyebut, 22 bank yang dimaksud berasal dari kategori modal yang beragam. Sebanyak lima bank berasal dari kategori Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) I atau yang bermodal inti kurang dari Rp 1 triliun. Sebanyak 11 bank dengan kategori BUKU II atau yang bermodal inti Rp 1 triliun sampai kurang dari Rp 5 triliun.

Sisanya, sebanyak enam bank berasal dari kategori BUKU III atau yang bermodal inti antara Rp 5 triliun-Rp30 triliun. Jumlah ini meningkat dibanding akhir 2016 lalu. Ketika itu, hanya 19 bank yang tercatat memiliki NPL di atas lima persen. (Baca juga: Bank Permata Terbebani Kredit Macet Garansindo Rp 1,2 Triliun)

“NPL gross-nya di atas 5 persen. Tetapi sudah dibentuk pencadangan sehingga semuanya sudah di bawah lima persen jauh,” kata Nelson usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Rabu (29/3). (Baca juga: Tekan Kredit Macet, Dirut Bank Permata: Ada Debitur Tak Mau Bayar)

Menurut dia, pembengkakan NPL terjadi lantaran kegiatan usaha debitur menurun seiring dengan perlambatan ekonomi. Alhasil, debitur kesulitan membayar kredit. Selain itu, belum pulihnya kinerja sektor manufaktur terutama industri tekstil juga menyebabkan tingginya kredit bermasalah. Apalagi, pertumbuhan kredit baru berjalan lambat.

Meski begitu, ia menekankan, bank sudah memperkuat permodalan untuk mengantisipasi penurunan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) akibat tingginya pembiayaan berkualitas rendah. Selain itu, bank juga sudah memperbaiki infrastruktur perkreditan, meningkatkan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM), serta meningkatkan kualitas penerapan manajemen risiko kredit.

Secara industri, Nelson merinci, NPL gross perbankan pada Januari 2017 sebesar 3,09 persen atau naik 0,16 persen dibanding bulan sebelumnya (month to month/mtm). Sedangkan kredit dengan kolektibilitas lancar menurun 2,67 persen menjadi Rp 3.943,5 triliun per Januari 2017. (Baca juga: Tertekan Kredit Bermasalah, Laba Bank-Bank Besar Anjlok)

Sementara itu, kredit dalam perhatian khusus meningkat 19,54 persen (mtm) menjadi Rp 236,2 triliun. Kemudian, kredit yang kurang lancar naik 3,85 persen (mtm) menjadi Rp 28,2 triliun dan yang diragukan meningkat 12,89 persen menjadi Rp 17,9 triliun. Adapun, kredit yang tercatat macet naik 4,04 persen (mtm) menjadi Rp 133 triliun.

Meski NPL terpantau kembali menanjak, ia menuturkan, restrukturisasi kredit yang dilakukan bank sebelumnya telah mampu menekan NPL dari sebesar 4,82 persen menjadi 3,09 persen. “Sektor pertambangan dan penggalian, juga industri pengolahan menjadi fokus restrukturisasi kredit bank. (Namun) Bank masih memproyeksikan kedua sektor ini akan membaik,” ujar Nelson.

(Baca juga: Bank BUMN Hapus Buku Kredit Macet Rp 24,8 Triliun, Melejit 41 Persen).

Sejauh ini, pertumbuhan kredit tertinggi terjadi pada sektor konstruksi yang naik 25,44 persen dibanding periode sama tahun lalu. Sedangkan NPL tertinggi terjadi pada sektor pertambangan yaitu 6,29 persen, namun kreditnya tumbuh positif 5,1 persen. Adapun, kenaikan NPL terbesar terjadi di sektor perikanan yang meningkat 1,65 persen (mtm) menjadi 4,2 persen.