Tak lama lagi, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) bakal memiliki akses kepada data nasabah. Meski begitu, institusi pimpinan Ken Dwijugiasteadi ini memastikan akan menjaga data nasabah sehingga tidak disalahgunakan oleh oknum lain.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama menyatakan komitmen institusinya. “Amanlah,” kata Hestu kepada Katadata, Senin (27/2). Namun, dia tidak menjelaskan detail upaya pengamanan data nasabah. “Saya belum bisa sampaikan banyak, kecuali Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) sudah terbit."
Sebagai informasi, wacana keterbukaan data bank untuk perpajakan ini sudah ramai dibahas dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, pelaku perbankan sempat menyatakan keberatan. Alasannya, mereka mempertanyakan jaminan keamanan data nasabah dan mengkhawatirkan risiko perpindahan dana nasabah ke luar negeri.
Namun, kekhawatiran tersebut, khususnya soal perpindahan dana nasabah tak bisa jadi alasan lagi. Sebab, kebijakan serupa juga diterapkan di banyak negara lain yang tergabung dalam organisasi untuk kerja sama dan pembangunan ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD).
Hal itu disampaikan Presiden Direktur Bank OCBC NISP, Parwati Surjaudaja. “Soal keterbukaan informasi sudah menjadi kesepakatan global. Jadi Perppu ini rasanya memang sudah diantisipasi dan diperlukan untuk bisa mewujudkan kesepakatan tersebut,” kata dia.
Di sisi lain, Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja enggan banyak berkomentar mengenai kebijakan tersebut. Yang jelas, ia yakin pemerintah sudah memikirkan antisipasi atas risiko-risiko yang ada. “Pasti sudah dipikirkan yang terbaik, saya no comment deh,” katanya.
Sementara itu, Ekonom Bank Central Asia David Sumual mengakui memang ada risiko penggunaan data nasabah oleh oknum untuk kepentingan lain. Jadi, harus ada jaminan keamanan untuk data nasabah. “Kan sering ada SMS (pesan singkat) masuk-masuk (ke telepon selular) nawarin A, B, jadi harus dijamin datanya. Tapi itu konsekuensi,” ujarnya.
Lebih jauh, jelang diberlakukannya kebijakan tersebut, David menyarankan agar pemerintah menggelar sosialisasi, khususnya kepada masyarakat dengan level ekonomi menengah bawah. Hal itu untuk meminimalkan keresahan.
“Di India kan sampai demo, antre berjam-jam karena ambil uang. Khawatir di Indonesia, bisa kan mereka tidak pernah bayar pajak, tiba-tiba bayar. Bisa menimbulkan masalah sosial,” katanya.
Dalam sosialisasinya, pemerintah juga bisa menyampaikan solusi yaitu agar masyarakat memanfaatkan program pengampunan pajak (tax amnesty) yang segera berakhir pada 31 Maret mendatang. (Baca juga: Keterbukaan Data Bank Bisa Dongkrak Perolehan Tax Amnesty)
Seperti diketahui, pemerintah berencana merevisi sejumlah undang-undang untuk memberikan keleluasaan bagi Ditjen Pajak untuk mengakses data nasabah bank. Langkah itu dilatari keikutsertaan Indonesia dalam kerja sama internasional: keterbukaan informasi secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) mulai 2018.
Kebijakan tersebut dimungkinkan melalui rencana penerbitan Perppu sebelum bulan Mei mendatang. Namun, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon menjelaskan, untuk tahapan awal, keterbukaan informasi bakal dikhususkan bagi nasabah asing. Kebijakan tersebut mengikuti aturan Foreign Account Tax Compliance Act (FATCA) yang lebih dulu diterapkan oleh Amerika Serikat (AS).
Sedangkan untuk nasabah lokal warga Indonesia baru akan diatur kemudian dalam revisi Undang-Undang (UU) Perbankan dan UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). (Baca juga: Tahun Ini, Baru Data Nasabah Asing yang Dibuka Petugas Pajak)