Indonesia bersama puluhan negara lainnya bakal menerapkan pertukaran data secara otomatis (Automatic Exchange of Information/AEoI) terkait pajak mulai tahun depan. Namun, masih ada setumpuk peraturan yang harus direvisi pemerintah agar bisa betul-betul berpartisipasi pada 2018 mendatang.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, sebagai anggota dari organisasi untuk kerja sama ekonomi dan pembangunan (Organization for Economic Cooperation and Development/OECD), Indonesia wajib mengikuti program AEoI. Karena itu, pemerintah harus menyelaraskan aturan untuk mendukung pelaksanaan program tersebut.

“Kalau Indonesia ikut di aturan global dan sudah kesepakatan, kami lihat mana yang menguntungkan. Ikut atau enggak? Kalau enggak ikut, ya dikucilkan,” kata Nelson usai konferensi pers Pertemuan Awal Tahun Pelaku Industri Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (13/1).

Beberapa UU yang akan direvisi di antaranya UU tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) dan UU Perbankan. Revisi itu dilakukan agar perbankan bisa membagi data dengan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). (Baca juga: Pembayaran Pajak Rendah, OECD: Indonesia Peringkat 148)

Sebelumnya, Direktur Perpajakan Internasional DJP John‎ Hutagaol mengatakan, untuk menghadapi era keterbukaan, seperti AEoI ini, DJP sudah menyelesaikan persoalan kerangka hukum internasionalnya alias international legal framework. Yang belum diselesaikan yakni kerangka hukum domestiknya atau domestic legal framework.

Di bidang perpajakan, John menyebut, ada lima peraturan yang akan direvisi untuk mendukung program AEoI yaitu UU KUP, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penghasilan (PPh), Bea materai, serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pemerintah rencananya akan fokus membahas aturan-aturan setelah pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty). (Baca juga: Usai Tax Amnesty, Pemerintah Bersiap Revisi Lima Aturan Pajak)

Jhon mengatakan, pemerintah perlu segera melakukan konvergensi terhadap regulasi domestik guna mengakomodasi empat minimum standar yang dideklarasikan dalam Base Erotion and Profit Shifting (BEPS). Keempat standar yang dimaksud antara lain harmful tax practices, treaty abuse, Transfer Pricing documentation, dan dispute resolution. Jika standar ini tak dilaksanakan, maka Indonesia akan terpinggirkan dari pergaulan internasional.

Saat ini, yang sudah bisa dipenuhi Indonesia adalah transfer pricing documentation. "Ini sangat menarik, karena Indonesia temasuk negara yang sudah siap melaksanakan country by country report," tutur Jhon.

Sekadar informasi, mengacu pada data OECD yang dilansir pada 26 Juli 2016, ada 101 wilayah kedaulatan yang berkomitmen menerapkan pertukaran informasi otomatis. Sebanyak 54 wilayah mulai menerapkan pada 2017, dan sisanya sebanyak 47 wilayah menyusul di 2018.

Reporter: Martha Ruth Thertina