Kementerian Keuangan: JP Morgan Buat Riset Tak Kredibel

Arief Kamaludin|KATADATA
Penulis: Desy Setyowati
Editor: Yura Syahrul
2/1/2017, 20.23 WIB

Pemerintah melalui Kementerian Keuangan memutuskan semua hubungan kemitraan dengan JP Morgan Chase Bank NA per 1 Januari ini. Alasannya, bank investasi asal Amerika Serikat itu dianggap telah membuat riset yang merugikan Indonesia namun tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menyatakan, pemerintah menghentikan kerja sama dengan JP Morgan sebagai bank persepsi dan dealer utama obligasi negara. Penyebabnya, dalam riset terakhirnya pada November 2016 lalu, JP Morgan menurunkan rekomendasi investasi di Indonesia dari “overweight” menjadi “underweight”.

Padahal, pemerintah menilai rekomendasi itu tidak tepat jika mengacu kepada kondisi ekonomi di dalam negeri. Menurut Suahasil, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar lima persen tahun 2016 masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain.

Hal tersebut semestinya menjadi pertimbangan JP Morgan dalam membuat kajian dan rekomendasinya. "Assessment (penilaian) JP Morgan tidak dapat kami mengerti. Kalau kami bandingkan negara lain, rasanya Indonesia tidak sejelek yang dikatakan JP Morgan,” ujar Suahasil kepada Katadata, Senin (2/1) malam.

Meski begitu, JP Morgan tidak dapat memberikan penjelasan yang kredibel atau dapat dipertanggungjawabkan atas risetnya itu. “Waktu dikonfirmasi ke JP Morgan, penjelasannya tidak kredibel.” (Baca: Riset Dianggap Ganggu Stabilitas, JP Morgan Diputus Pemerintah)

Suahasil menyayangkan sikap JP Morgan tersebut. Bahkan, dia menganggap langkah JP Morgan itu bertujuan menjadikan Indonesia sebagai spekulasi di pasar. "Kalau ada yang mau menempatkan Indonesia sebagai sasaran spekulasi, berarti mindset-nya tidak sejalan dengan kami,” ujarnya.

Atas dasar itulah, Kementerian Keuangan memutuskan tidak lagi memakai jasa JP Morgan, baik sebagai dealer utama di pasar surat utang negara (SUN) maupun sebagai bank persepsi untuk penerimaan negara.

Keputusan pemerintah mengakhiri hubungan tersebut telah disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada JP Morgan melalui surat bertanggal 17 November 2016. Direktorat Jenderal Perbendaharaan juga mengakhiri kerja sama dengan JP Morgan sebagai bank persepsi per 1 Januari 2017. Alhasil, JP Morgan tidak boleh lagi menerima setoran penerimaan negara Indonesia dari siapapun.

Pada 13 November lalu, JP Morgan memang membuat riset mengenai kondisi pasar keuangan di Indonesia pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Dalam riset yang dikutip oleh blog Barron’s Asia, situs berita investasi berpengaruh asal AS, JP Morgan menyebutkan imbal hasil surat utang tenor 10 tahun naik dari 1,85 persen menjadi 2,15 persen pasca terpilihnya Trump.

Kenaikan tingkat imbal hasil dan gejolak pasar obligasi ini mendongkrak risiko premium di pasar negara-negara yang pasarnya berkembang (emerging market). Hal ini memicu kenaikan Credit Default Swaps (CDS) Brasil dan Indonesia, sehingga berpotensi mendorong arus dana keluar dari negara-negara tersebut.

Bersandarkan kepada riset tersebut, JP Morgan merekomendasikan pengaturan ulang alokasi portofolio para investor. Sebab, JP Morgan memangkas dua level rekomendasi Indonesia dari “overweight” menjadi “underweight”. (Baca: Sepekan Efek Trump, BI: Rp 16 Triliun Keluar dari Indonesia)

Sekadar catatan, pasca kemenangan Trump pada 9 November 2016, pasar modal dan obligasi global bergejolak, termasuk di Indonesia. Puncaknya terjadi pada 11 November 2016. Saat itu, nilai tukar rupiah sempat menembus 13.800 per dolar AS. Sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 4,01 persen. Bank Indonesia (BI) mencatat, dana asing yang keluar dari Indonesia mencapai Rp 16 triliun dalam tempo sepekan perdagangan, yaitu 9 sampai 14 November 2016.

Tahun 2015, JP Morgan juga pernah membangkitkan amarah pemerintah. Dalam risetnya bertanggal 20 Agustus 2015, JP Morgan merekomendasikan agar investor mengurangi kepemilikan di surat utang Indonesia. Sebab, menilai risiko aset portofolio Indonesia semakin meningkat karena tiga faktor.

(Baca: Gara-Gara Riset, Pemerintah Jatuhkan Sanksi ke JP Morgan)

Pertama, kebijakan Cina mendevaluasi mata uangnya yang membuat risiko obligasi negara-negara emerging market Asia meningkat. Kedua, besarnya aliran dana keluar membuat prospek obligasi global negara-negara emerging market menurun, termasuk Indonesia. Ketiga, adanya kekhawatiran bahwa utang pemerintah pada tahun 2016 akan meningkat sebesar 10 persen.

Kala itu, Gubernur BI Agus Martowardojo meminta agar riset tersebut dilakukan dengan hati-hati dalam mengambil rancangan analisisnya. Menteri Keuangan pada saat itu, Bambang Brodjonegoro mengaku telah memberikan sanksi kepada JP Morgan atas hasil risetnya yang dinilai merugikan Indonesia.