Kementerian Keuangan bakal menerbitkan aturan untuk menjaring pajak dari perusahaan-perusahaan digital (over the top/OTT) seperti Google, Facebook, Yahoo, dan Twitter. Namun, aturan anyar tersebut tidak berlaku surut.

Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus Muhammad Haniv memastikan aturan baru tersebut bakal segera keluar. Bentuknya bisa berupa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) atau Peraturan Direktur Jenderal Pajak. (Baca juga: Dirjen Pajak: Google Harus Bayar Pajak Tahun Ini)

Sayangnya, Haniv mengaku tak tahu kapan tepatnya aturan itu akan siap dan bagaimana detail aturannya. “Dalam proses dan akan segera keluar,” katanya di Jakarta, Senin (14/11). Yang jelas, aturan baru itu tidak berlaku surut. Sedangkan kewajiban pajak sebelumnya akan diselesaikan melalui proses negosiasi. "Kalau yang pajak terdahulu itu kamisettlement saja sifatnya, ‘udahlah you bayar sekian’ gitu loh maksudnya."

Sekadar catatan, pertengahan September lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat menyinggung opsi penerbitan aturan baru guna menangani pajak perusahaan-perusahaan OTT. Namun, kala itu, Kementerian Keuangan perlu melakukan kajian mendalam lebih dulu. (Baca juga: Menkominfo Usul Terapkan Pajak Final Untuk Google)

Kementerian Keuangan perlu membandingkan peraturan-peraturan sejenis di negara lain. Alasannya, jangan sampai peraturan yang dibuat justru membikin Indonesia tidak kompetitif dalam pengembangan ekonomi berbasis digital ini.

Selain membuat aturan baru, Haniv mengatakan, Direktorat Jenderal Pajak juga masih mengupayakan pengejaran pajak Google. “Sekarang masih negosiasi, mereka jawab, lalu kami tidak setuju. Seperti itulah,” ujarnya.

Meski belum ada kesepakatan, Haniv menyebut sudah ada kemajuan dalam proses negosiasi. “Tunggu saja hasilnya, yang jelas ada kemajuan tapi masih belum sesuai,” kata dia.

Menurut Haniv, pengejaran pajak perusahaan OTT termasuk Google mendapat perhatian dari Menteri Keuangan. Namun, dia menekankan, Sri Mulyani tidak mengintervensi persoalan pajak kecuali perusahaan yang dimaksud telah melakukan tindak pidana pajak. “Karena kalau pidana itu sudah berat, bisa 150 persen dendanya,” ujarnya.

Seperti diketahui, Ditjen Pajak tengah memeriksa secara khusus empat perusahaan digital multinasional. Mereka adalah Facebook, Twitter, Google, dan Yahoo. Empat korporasi ini semestinya masuk dalam kriteria Bentuk Usaha Tetap (BUT) agar bisa dipajaki. Namun nyatanya tidak.

Khusus untuk Google, pemerintah melalui Ditjen Pajak sempat mengirimkan surat pemeriksaan pajak. Namun, surat itu justru dikirim balik lantaran perusahaan tersebut menolak ditetapkan sebagai BUT.

Merespons sikap Google, Sri Mulyani menyatakan akan mengajak perusahaan tersebut berdiskusi. Jika tak juga ada kesepakatan, maka pemerintah akan membawa sengketa dengan Google ke pengadilan pajak. (Baca juga: Menkeu Siap Bawa Sengketa dengan Google ke Pengadilan Pajak)

Menteri Keuangan sebelumnya, Bambang Brodjonegoro pernah menjelaskan, Google dan Yahoo bertindak sebagai dependent agent dari Google Asia Pacifik dan Yahoo Singapura Ltd di Singapura. Karena tidak tercatat sebagai BUT, keduanya juga tidak membayar pajak di Indonesia. Padahal Google sudah terdaftar sebagai Penanam Modal Asing (PMA) sejak 2011, sedangkan Yahoo dari 2009.

“Mereka dapat penghasilan dari sini. Seharusnya mereka bayar pajak di sini,” kata Bambang (6/4). Dia yakin meski keempat perusahaan ini dikenai pajak tidak akan lari dari Indonesia. Karena keuntungan yang didapat cukup besar. (Baca juga: Bank Dunia – IMF Bahas Penghindaran Pajak Google dan Facebook)