Pemerintah Antisipasi Efek Pelonggaran Administrasi Tax Amnesty

Kris | Biro Pers Sekretariat Kepresidenan
Presiden Joko Widodo pada sosialisasi Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) di Grand Ballroom Rama Shinta, Patra Jasa Semarang Convention Hotel, Selasa (9/8).
23/9/2016, 15.43 WIB

Usai bertemu dengan sejumlah pengusaha kakap, Presiden Joko Widodo akhirnya setuju memperlonggar syarat administrasi bagi peserta pengampunan pajak alias tax amnesty periode pertama. Rencananya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati segera mengeluarkan peraturan soal teknis pelonggaran tersebut.

Nantinya, peserta tax amnesty yang ingin mendapat fasilitas tarif rendah namun belum memenuhi persyaratan administrasi tetap bisa mengikuti periode pertama. Syaratnya, peserta harus membayar uang tebusan dua persen bagi yang membawa uangnya ke Tanah Air (repatriasi) atau deklarasi di dalam negeri. Sementara bagi yang hanya mendeklarasikan hartanya di luar negeri membayar empat persen. (Baca juga: Pemerintah Perpanjang Waktu Proses Administrasi Tax Amnesty).

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (P2 Humas DJP) Hestu Yoga Saksama mengatakan, ada risiko kesalahan perhitungan akibat pelonggaran ini. Sebab, harta yang akan dilaporkan peserta —yang belum memenuhi persyaratan administrasi— belum dihitung dengan rinci.

Alhasil, besaran uang tebusannya pun tak bisa dihitung secara pasti. Berbeda dengan harta peserta yang sudah dicatat seluruhnya dalam Surat Pernyataan Harta (SPH), besaran uang tebusannya bisa lebih sesuai.

“Itu dia (kekhawatirannya). Makanya sedang kami kaji oleh tim, sehingga tidak ada hal-hal yang jadi masalah ke depan,” kata Yoga kepada Katadata, Jumat, 23 September 2016. Rencananya, kajiannya akan kelar dalam satu atau dua hari ini. “Hasil akhir belum fix."

Menurut Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation and Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, pelonggaran ini cukup memfasilitas masyarakat yang ingin mengikuti tax amnesty dengan tarif rendah. Dengan begitu, tak perlu dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk memperpanjang periode pertama tax amnesty ini. (Baca juga: Pengusaha Kakap Bergiliran "Minta Ampun" ke Kantor Pajak).

Akan tetapi, dia mengingatkan bahwa dalam Pasal 4 Undang-Undang Pengampunan Pajak disebutkan bahwa tarif yang dikenakan untuk tiap periode dihitung berdasarkan penyampaikan SPH bukan Surat Setoran Pajak (SSP). Sedangkan pelonggaran administrasi ini berdasarkan SSP. Karena itu, perlu diselesaikan lebih dulu persoalan ukuran hitungnya. “Kalau pakai SSP, mungkin bisa pakai aturan tanda terima sementara atas SSP,” ujar dia.

Prastowo juga usul, jika terjadi kekurangan bayar -akibat kesalahan hitung atas harta yang ingin dilaporkan- uang tebusan yang kurang dibayarkan besaran tarifnya disesuaikan dengan periode kedua. Tarif pada tahap kedua yakni tiga persen bagi repatriasi dan deklarasi di dalam negeri, serta enam persen untuk yang hanya mendeklarasikan hartanya di luar negeri. (Baca juga: Pengusaha Kakap Bergiliran "Minta Ampun" ke Kantor Pajak).

“Saya kira ini sudah fair. Bayar dua persen sesuai perhitungan sementara (relaksasi administrasi). Lalu, kekurangan bayar (akibat kesalahan hitung) dibayar tiga persen (tarif periode kedua). Istilahnya dapat ‘tempo’,” tutur Prastowo.