Bank Indonesia memperkirakan masuknya dana repatriasi hasil kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) dalam jumlah besar dapat menimbulkan gejolak nilai tukar di dalam negeri. Karena itu, bank sentral akan menjaga agar penguatan rupiah tidak terlalu besar.
Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi Moneter BI Juda Agung berharap masuknya dana repatriasi hasil tax amnesty ke dalam negeri (capital inflow) tidak memicu volatilitas atau apresiasi rupiah secara berlebihan. Dengan begitu, mata uang rupiah tidak menguat terlalu tinggi. Sebab, kalau rupiah terlalu kuat maka akan merugikan sisi yang lain, khususnya mengganggu stabilitas makroekonomi. Misalnya, daya saing ekspor Indonesia bisa menurun karena harga produknya menjadi lebih mahal.
Selama ini, BI menilai pergerakan rupiah cukup terkendali. Pada awal tahun ini, rupiah sempat berfluktuasi dengan kenderungan menguat rata-rata 10-11 persen berkat aliran masuk dana asing. Dana yang masuk itu mencapai US$ 4,9 miliar, yang sebanyak US$ 3,7 miliar di antaranya bersarang di Surat Utang Negara (SUN). Sedangkan selama Maret-April ini, pergerakan rupiah relatif rendah, yaitu rata-rata 5,6 persen.
Jika dihitung sejak awal tahun hingga akhir bulan ini, rupiah sudah menguat 3,96 persen ke level Rp 13.260 per dolar Amerika Serikat (AS). Menurut Juda, penguatan rupiah ini masih sesuai dengan fundamental ekonomi dan tidak mengganggu daya saing ekspor Indonesia.
(Baca: BI Peringatkan Risiko Masuknya Dana Tax Amnesty Rp 560 Triliun)
Ke depan, dia melihat, aliran masuk repatriasi dana tax amnesty memang berpotensi menimbulkan volatilitas rupiah secara berlebihan. Meski begitu, BI berupaya menjaga penguatan rupiah tidak lebih dari 10 persen. “Kami akan jaga (volatilitas rupiah) tidak lebih dari (10 persen) itu,” katanya di Jakarta, Selasa (26/4).
Berdasarkan kajian BI, potensi nilai repatriasi dana dari kebijakan pengampunan pajak mencapai Rp 560 triliun. Sedangkan penerimaan pajak bisa bertambah sebesar Rp 45,7 triliun. Padahal, daya tampung pasar uang dalam negeri masih minim. Surat Berharga Negara (SBN) misalnya, saat ini hanya mampu menghimpun dana Rp 288 triliun. Alhasil, masuknya dana repatriasi dapat menekan harga SBN.
(Baca: KPK, Polri, Kejagung, PPATK Dukung UU Pengampunan Pajak)
Untuk itu, BI akan mempersiapkan sejumlah instrumen keuangan untuk menampung banjir dana tax amnesty tersebut. Misalnya, obligasi untuk infrastruktur. “Kami akan siapkan. Intinya dari BI adalah, bagaimana inflow ataupun repatriasi ini dapat dikelola dengan baik sehingga tidak menimbulkan dampak negatif,” kata Juda.
Selain itu, peluang repatriasi ini dimanfaatkan untuk memperdalam pasar keuangan, termasuk pembiayaan jangka panjang. Meski begitu, Juda belum bersedia menjelaskan lebih detail instrumen-instrumen baru tersebut. “Begitu ada inflow yang besar dari repatriasi ini, kami akan segera merespons dalam bentuk instrumen dan managing liquidity-nya. Bisa instrumen baru atau yang sudah ada.”
Di sisi lain, dia melihat dana repatriasi tax amnesty ini juga akan memberikan tambahan likuiditas kepada perbankan. Dana itu bisa dipakai untuk menambah kucuran kredit lantaran saat ini rasio likuiditas atau loan to deposit ratio (LDR) perbankan sudah tinggi, yaitu sekitar 90 persen.
(Baca: Tarif Tax Amnesty Usulan Pemerintah Dinilai Terlalu Rendah)
Persoalannya, perbankan tidak bisa langsung memacu penyaluran kredit kalau kredit bermasalah (NPL) masih menumpuk. Selain itu, belum tentu bakal serta-merta bisa memangkas bunga kredit. “Kredit itu terkait supply dan demand. Kalau pasokan tidak ada, permintaan tak akan merespons,” ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur BI Agus Martowardojo juga menyarankan, penempatan dana repatriasi perlu dikunci selama tiga tahun dan jangan dilakukan bersamaan di masing-masing instrumen. Ia mencontohkan, tiga tahun di deposito lalu ke SBN dan saham untuk jangka waktu yang sama. "Jangan majority profile-nya secara bersamaan, karena kalau sama-sama tiga tahun, nanti di akhirnya bisa terjadi tekanan dana keluar (capital outflow),” kata dia.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman D. Haddad juga mengusulkan, agar repatriasi dilakukan bertahap. Selain itu, dia juga berpendapat bahwa repatriasi semestinya bisa masuk ke modal perusahaan. Dari sisi perbankan, juga bisa dibuat surat berharga khusus proyek infrastruktur. "Modal harus diperkuat karena sejalan dengan keinginan meningkatkan modal dan batas minimum modal," katanya.