Pemberlakuan suku bunga acuan baru, BI Seven Days Reverse Repo Rate, akan mulai berlaku 19 Agustus mendatang. Meski begitu, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang digelar sejak kemarin hingga Kamis ini (21/4) diperkirakan tetap akan mempertahankan BI rate sebesar 6,75 persen.
Menurut Ekonom Bank Tabungan Negara (BTN) Agustinus Prasetyantoko, bank sentral kemungkinan tidak akan mengubah BI rate. Bahkan, BI rate sebesar 6,75 persen itu diperkirakan bakal bertahan hingga Agustus nanti. “Sangat mungkin begitu (BI rate tetap sampai Agustus) karena itu suku bunga acuan untuk setahun,” katanya kepada Katadata.
Ke depan, dia menambahkan, bank sentral akan lebih fokus pada kebijakan suku bunga baru BI Seven Days Reverse Repo. Sebab, suku bunga acuan baru ini dianggap lebih sesuai dengan instrumen keuangan yang paling banyak ditransaksikan. ”Sekarang dipendekkan (suku bunga acuan) dari satu tahun menjadi 7 hari.”
Secara terpisah, Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga meramal RDG hari ini kemungkinan akan tetap mempertahankan besaran BI rate. Keputusan itu diperkirakan bakal bertahan sampai pemberlakuan BI Seven Days Reverse Repo. Selanjutnya, kebijakan moneter akan menyesuaikan dengan indikator makro ekonomi. Seperti inflasi, nilai tukar rupiah, dan proyeksi kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) atau Fed Rate. “Mengingat kemungkinan bunga AS akan dinaikkan sekitar September dan November 2016,” katanya.
(Baca: Perbankan Optimistis Bunga Acuan Baru Bisa Memacu Kredit)
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Rakyat Indonesia (BRI) Anggito Abimanyu melihat masih adanya peluang penurunan BI rate sebesar 0,25 persen pada paruh pertama tahun ini. Sebab, inflasi ke depan diperkirakan masih akan rendah. Sedangkan bank sentral AS ditramal baru akan mengertek suku bunga pada semester kedua nanti. “Kemungkinan (BI rate) akan tetap sampai menunggu situasi berikutnya. Tapi harapan saya, masih bisa turun sekali lagi 0,25 persen,” ujarnya.
Sekadar informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi pada Maret 2016 mencapai 0,19 persen atau lebih tinggi ketimbang Maret 2015 yang sebesar 0,17 persen. Sedangkan inflasi tahun kalender, yaitu periode Januari-Maret 2016 sebesar 0,62 persen. Namun inflasi secara tahunan (year on year) tahun ini yang sebesar 4,45 persen, lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai 6,38 persen.
(Baca: Inflasi Pada Maret Akibat Kenaikan Harga Bahan Pangan)
Di sisi lain, Anggito melihat suku bunga acuan baru akan lebih efektif mempengaruhi bunga perbankan dan pasar uang lainnya. Sebab, menjadi bunga acuan instrumen likuiditas jangka pendek yang paling banyak ditransaksikan di pasar keuangan. Alhasil, pengaruhnya ke bunga perbankan bakal lebih cepat sehingga bunga simpanan dan bunga kredit dapat turun menjadi single digit (di bawah 10 persen). Syaratnya, inflasi masih tetap rendah.
Seperti diketahui, pada akhir pekan lalu BI mengumumkan rencana mengubah suku bunga acuan dari BI rate menjadi BI seven day reverse repo rate. Kebijakan yang bakal mulai berlaku 19 Agustus mendatang itu dinilai lebih cocok sebagai acuan suku bunga di pasar keuangan karena instrumen yang ditransaksikan mayoritas bertenor pendek, mulai dari 1 bulan hingga kurang 1 tahun. Sementara BI rate saat ini lebih sesuai sebagai bunga acuan instrumen tenor setahun.
(Baca: BI Jamin Bunga Acuan Baru Tak Ganggu Target Inflasi dan Ekonomi)
Selain itu, kebijakan tersebut diharapkan bisa memperdalam pasar keuangan. Sebab, koridor bunganya akan dipersempit yakni dibatasi 0,75 persen untuk deposit facility rate dan lending facility rate. BI seven day reverse repo ditetapkan 5,5 persen, maka deposito facility rate atau batas bawah menjadi 4,75 persen dan lending facility rate atau batas atas 6,25 persen. Alhasil, bank yang meminjamkan kelebihan likuiditasnya ke bank lain akan memberikan bunga di bawah batasan tersebut.