KATADATA - Regulator perbankan masih belum memahami aturan baru yang mewajibkan setiap bank melaporkan data transaksi kartu kredit nasabah. Padahal, peraturan untuk kepentingan perpajakan tersebut sudah dirilis oleh Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro sejak Selasa pekan lalu (22/3).
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Ronald Waas mengaku masih mempelajari kebijakan tersebut dikaitkan dengan kekhawatiran prinsip kerahasiaan data nasabah bank. Meski begitu, dia menegaskan, kebijakan membuka data nasabah dapat saja dilakukan kalau tujunnya untuk kepentingan nasional. Selain itu, sepanjang dilaksanakan secara umum dan mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Semua UU yg mengatur kerahasiaan data (nasabah) membuka kemungkinan kalau untuk kepentingan nasional,” katanya seusai rapat koordinasi di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Kamis (31/3).
Di sisi lain, Ronald belum bisa memperkirakan kemungkinan efek kebijakan tersebut akan menurunkan transaksi kartu kredit. “Saya belum berani ngomong itu karena harus lihat datanya. Kalau trennya sudah turun, baru saya berani membenarkan itu,” katanya. Namun, guna mengantisipasi kemungkinan penurunan transaksi kartu kredit, OJK akan terus mendorong gerakan transaksi nontunai.
BI tak sendirian, pejabat OJK juga mengaku masih mempelajari aturan wajib lapor transaksi kartu kredit itu. Padahal, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto menyatakan, pihaknya selalu berkoordinasi dengan pemerintah, termasuk dalam hal pemberlakuan aturan baru tersebut.
Selain itu, OJK akan berkoordinasi dengan perbankan untuk memantau perkembangan dan dampaknya terhadap risiko penurunan transaksi kartu kredit. “Saya minta teman-teman perbankan untuk update. “(Sekarang) saya belum bisa beri komentar. Kami perlu ada koordinasi dulu,” ujar Rahmat.
(Baca: Diincar Pajak, 22 Bank Wajib Setor Data Transaksi Kartu Kredit)
Setali tiga uang, Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Asmawi Syam mengaku belum mengetahui isi beleid tersebut. Namun, secara umum, pemberian informasi data nasabah seperti ini mungkin saja dilakukan. Seperti, laporan batas pagu kredit. Yang tidak boleh diberitahukan itu adalah laporan saldo rekening tabungan nasabah.
Asmawi menambahkan, bank saat memberikan limit kartu kredit pasti sudah memperhitungkan pendapatan nasabah pemegang kartu itu. “Jadi kalau ada yang melampaui pendapatannya, pasti sudah terseleksi oleh bank,” katanya.
(Baca: Direktorat Pajak Siapkan 10 Langkah Genjot Penerimaan 2016)
Sekadar informasi, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 39/ PMK.03/2016 yang diteken Bambang pada 22 Maret lalu mengatur rincian jenis data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan. Salah satunya adalah bank atau lembaga penyelenggara kartu kredit, yang diwajibkan melaporkan setiap bulan data transaksi nasabahnya.
Data yang disampaikan tersebut bersumber dari lembar penagihan (billing statement) bulanan setiap nasabah kartu kredit. Adapun data yang dimaksud, minimal memuat nama bank, nomor rekening kartu kredit, ID merchant, nama merchant, nama pemilik kartu, dan alamatnya. Selain itu, data Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau paspor, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), bukti tagihan, rincian transkasi, dan pagu kredit nasabahnya.
(Baca: Genjot Pajak, Sarjana Muda Dibuatkan NPWP)
Peraturan menteri itu mencatat 22 bank penyedia fasilitas kartu kredit yang wajib melaporkan data transaksi nasabahnya. Yaitu: Pan Indonesia Bank, Bank ANZ Indonesia, Bank Bukopin, Bank Central Asia (BCA), Bank CIMB Niaga, Bank Danamon, dan Bank MNC Internasional. Lalu, Bank ICBC Indonesia, Bank Maybank Indonesia, Bank Mandiri, Bank Mega, Bank Negara Indonesia (BNI), BNI Syariah, Bank OCBC NISP, Bank Permata, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Bank Sinarrnas.
Selain itu, Bank UOB Indonesia, Standard Chartered Bank, HSBC, Bank QNB Indonesia, dan Citibank N.A. Ada pula satu lembaga penyelenggara kartu kredit yaitu AEON Credit Services. Kewajiban melaporkan data transaksi nasabah kartu kredit itu harus dilaksanakan paling lambat mulai 31 Mei mendatang.
Sebelumnya, Menteri Keuangan mengakui akan fokus meningkatkan penerimaan pajak orang pribadi pada tahun ini. Sebab, selama ini penerimaan pajak orang pribadi masih jauh dari potensinya. Pada 2015, misalnya, hanya mendapat Rp 9 triliun atau kurang dari 10 persen total penerimaan pajak Rp 1.011 triliun.
Demi menggenjot penerimaan pajak orang pribadi, Kementerian Keuangan sedang berfokus memperoleh data-data transaksi keuangan setiap orang. Caranya, bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan perbankan. Dari sisi perbankan, meski masih kesulitan membuka rekening, Ditjen Pajak bisa memeriksa penggunaan kartu kredit nasabah. “Kartu kredit sudah mulai dilakukan pertukaran informasi,” ujar Bambang.