KATADATA - Kebijakan Bank Indonesia (BI) menurunkan batasan Giro Wajib Minimum (GWM) Primer untuk memacu penyaluran kredit perbankan belum tentu membuahkan hasil. Sementara di sisi lain, bank sentral belum bersedia menurunkan suku bunga acuan BI rate karena masih khawatir terhadap risiko gejolak pasar global.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nelson Tampubolon menilai, langkah BI menurunkan batasan GWM sebesar 0,5 persen memang memberi kelonggaran likuiditas bagi perbankan. Dengan begitu, bank dapat menyalurkan kredit yang lebih banyak. Persoalannya, para pelaku usaha saat ini cenderung menahan diri untuk ekspansi di tengah kondisi perlambatan ekonomi. Alhasil, kebijakan penurunan batasan GWM itu tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan kredit.
“Masalahnya, sebenarnya lebih banyak di sektor riil. Apakah demand-nya sudah meningkat,” kata Nelson kepada Katadata, Rabu (18/11).
Para bankir juga mempunyai pandangan yang sama. Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Asmawi Syam menilai kebijakan terbaru BI tersebut akan menambah likuiditas perbankan. “Penambahan likuiditas ini akan mengurangi minat perbankan mengejar DPK (dana pihak ketiga) dalam bentuk menaikkan bunga deposito,” katanya. Dengan menahan bunga deposito, berarti biaya yang dikeluarkan bank untuk memupuk DPK alias biaya dana (cost of fund) bakal berkurang.
Sebagai gambaran, total DPK BRI saat ini sebesar Rp 500 triliun. Dengan penurunan batasan GWM sebesar 0,5 persen berarti biaya dana yang bisa dihemat bank pelat merah ini mencapai Rp 2,5 triliun. Sayangnya, menurut Asmawi, permintaan kredit di sektor riil memang masih rendah sehingga kredit perbankan belum tentu terserap sepenuhnya. “Demand perbankan tergantung sektor riil,” imbuhnya. Alhasil, kemungkinan besar likuiditas yang berlebih tersebut akan digunakan untuk membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Sementara itu Direktur Utama Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiatmadja juga menilai kebijakan BI menurunkan batasan GWM tidak akan berpengaruh besar terhadap pertumbuhan kredit. Bahkan, dampaknya juga kecil terhadap penurunan biaya dana. “Bagi bank yang likuiditasnya seret, bisa meningkatkan kredit. Kalau BCA sudah likuid,” tandasnya.
(Baca: Tahan BI Rate, BI Pilih Turunkan GWM untuk Memacu Kredit)
Hari Selasa kemarin (17/11), BI memutuskan mempertahankan suku bunga acuan BI rate di level 7,5 persen. BI menilai sebenarnya ada ruang pelonggaran kebijakan moneter seiring stabilitas kondisi makroekonomi yang semakin baik. Namun, bank sentral melihat ketidakpastian di pasar keuangan global masih tinggi, terutama kemungkinan kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (Fed Fund Rate).
Meski begitu, BI memutuskan menurunkan GWM Primer dalam rupiah, dari sebelumnya 8 persen menjadi 7,5 persen. Sekadar informasi, GWM merupakan salah satu instrumen moneter BI untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar di masyarakat. GWM merupakan likuiditas wajib minimum bank yang wajib dijaga dan dipelihara oleh setiap bank. Tujuannya agar bank dapat memenuhi kewajibannya terhadap penarikan simpanan masyarakat sewaktu-waktu. Berdasarkan Surat Edaran BI No. 17/17/DKMP tanggal 26 Juni 2015, BI menetapkan GWM Primer sebesar 8 persen dari dana pihak ketiga (DPK) dalam rupiah di perbankan.
Gubernur BI Agus Martowardojo menyatakan, penurunan GWM Primer yang berlaku efektif 1 Desember mendatang itu merupakan cara pelonggaran kebijakan BI sekaligus tetap menjaga stabilitas moneter. Dengan begitu, perbankan bisa lebih leluasa mengucurkan kredit. "Perbankan akan mendapatkan tambahan kapasitas pembiayaan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi," katanya.