Presiden Joko Widodo resmi memberikan kewenangan baru kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk menyelamatkan bank sebelum ditetapkan sebagai bank gagal oleh Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2020.
Dalam aturan tersebut disebutkan bahwa penambahan kewenangan LPS dilakukan dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas sistem keuangan yang timbul akibat terjadinya pandemi Covid-19 dan/atau untuk menghadapi ancaman krisis ekonomi maupun gangguan stabilitas sistem keuangan yang mencakup penanganan permasalahan bank.
LPS antara lain dapat mulai menawarkan bank bermasalah kepada investor hingga menempatkan dana pada bank tersebut.
Dalam pasal 3 PP tersebut dijelaskan, LPS dapat mulai mempersiapkan penanganan bank sejak ditetapkan dalam pengawasan intesif. OJK pun berkewajiban untuk memberikan pertukaran data dan/atau informasi kepada LPS, melakukan pemeriksaan bersama, dan kegiatan lain dalam rangka persiapan resolusi bank.
(Baca: LPS Jamin Dana Pemerintah Rp 30 T, Empat Bank BUMN Wajib Bayar Premi)
OJK juga harus menyampaikan status bank dalam pengawasan intensif, perpanjangan pengawasan intensif, hingga pengawasan khusus.
Dalam pasal 6 PP tersebut dijelaskan bahwa LPS juga dapat mulai melakukan penjajakan atas bank bermasalah yang masuk dalam pengawasan intensif kepada bank lain yang bersedia untuk menerima pengalihan sebagian dan/atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank setelah berkoordinasi dengan OJK. Ini dapat dilakukan jika dalam waktu paling lama 1 tahun sejak ditetapkan sebagai bank dalam pengawasan intensif oleh OJK, permasalahan solvabilitas belum dapat diatasi.
LPS juga akan meningkatkan intensitas persiapan resolusi bank jika OJK telah memberikan informasi terkait status bank dalam pengawasan khusus. Penyampaian informasi status bank dalam pengawasan khusus wajib diberikan OJK kepada LPS paling lambat satu hari kerja untuk bank sistemik dan tiga hari kerja untuk bank nonsistemik.
Peningkatan persiapan yang dilakukan LPS, meliputi pengkinian hasil pemeriksaan bersama yang sudah dilakukan dengan OJK dan kegiatan lain, seperti penjajakan kepada calon bank penerima dalam rangka pemasaran aset dan/atau kewajiban bank, penjajakan kepada pemegang saham yang berpotensi ikut serta menyetorkan modal untuk bank sistemik, serta pengajuan izin usaha bank perantara.
(Baca: Sri Mulyani Segera Rilis Aturan Penempatan Dana Bank Jangkar Rp 87 T)
Penempatan Dana LPS di Bank
Jokowi melalui PP ini bahkan memberikan kewenangan LPS untuk melakukan penempatan dana pada bank yang mengalami masalah likuiditas dan terancam mengalami kegagalan.
Dalam pasal 11 ayat 3 diatur total penempatan dana pada seluruh bank paling banyak 30% dari jumlah kekayaan bank. Penempatan dana pada satu bank paling banyak 2,5% dari total kekayaan LPS. Adapun periode penempatan dana paling lama satu bulan dan dapat diperpanjang paling banyak lima kali.
Lebih lanjut dijelaskan dalam ayat 4 pasal 11 bahwa untuk LPS dapat menempatkan dana di bank, OJK harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada LPS dan BI bahwa pemegang saham pengendali tak dapat membantu permasalah likuiditas bank. Penempatan dana juga dilakukan berdasarkan permintaan bank yang disertai analisis OJK terkait kelayakan permohonan tersebut dan diajukan oleh regulator jasa keuangan itu kepada LPS.
Selain itu, BI juga akan melakukan asesmen terhadap riwayat sistem pembayaran bank dan kondisi sistem keuangan, serta menyampaikan hasil asesmen tersebut kepada LPS paling lama tiga hari sejak pemberitahuan OJK.
"Dalam hal, LPS memutuskan untuk melakukan penempatan dana, OJK dan BI melakukan pengawasan secara lebih intensif kepada bank yang menerima penempatan dana sesuai kewenangannya," tulis PP tersebut.
Lembaga Penjamin Simpanan sebelumnya mencatat rekening simpanan masyarakat sebanyak 310 juta rekening per April 2020. Jumlah itu hanya meningkat 1,1% dari Maret 2020.
(Baca: Jaga Likuiditas Bank, LPS Pangkas Bunga Penjaminan Simpanan 0,25%)
Sebelumnya, LPS hanya diberikan kewenangan untuk menangani bank jika sudah ditetapkan sebagai bank gagal oleh OJK sesuai dengan Undang-undang LPS.
Selain kewenangan untuk menangani permasalahan bank sebelum penetapan bank gagal, LPS dalam PP ini juga diberi kewenangan untuk memilih cara penanganan bank selain bank sistemik yang dinyatakan sebagai bank gagal. Pemilihan cara penanganan bank gagal tidak hanya mempertimbangkan biaya termurah, tetapi juga kondisi perekonomian dan kompleksitas permasalahn bank.
Dalam penanganan bank tersebut, LPS dapat melakukan empat cara. Pertama, pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/aset atau kewajiban bank kepada bank penerima atau metode purchase and assumption.
Kedua, mengalihkan sebagian atau seluruh/aset dan/atau kewajiban bank selain bank sistemik kepada bank perantara atau metode bridge bank. Ketiga, melakukan penyertaan modal sementara. Keempat, melakukan likuidasi.
PP tersebut juga kembali memperkuat kewenangan baru LPS yang sebelumnya telah termuat dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19. Salah satunya, terkait pemenuhan likuiditas LPS untuk penanganan bank.
Dalam pasal 15 PP ini diatur bahwa LPS dapat melakukan repo atau pinjam meminjam dengan jaminan surat berharga kepada BI, menjual SBN yang dimiliki LPS kepada BI, menerbitkan surat utang, mengajukan pinjaman kepada pihak lain, dan pinjaman kepada pemerintah.