Antisipasi Kenaikan Kredit Bermasalah, Laba BRI Tahun Lalu Merosot 45%

KATADATA/Arief Kamaludin
Direktur Utama Bank BRI, Sunarso
Penulis: Ihya Ulum Aldin
29/1/2021, 15.13 WIB

PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) mengantongi laba bersih mencapai Rp 18,66 triliun sepanjang 2020. Jumlah tersebut anjlok 45,8% dibandingkan tahun sebelumnya Apa penyebabnya?

Direktur Utama BRI Sunarso menjelaskan penurunan laba bersih terkait dengan pencadangan yang dilakukan oleh bank milik pemerintah tersbeut tahun lalu. "Laba menurun karena kami harus mencadangkan cukup besar terutama untuk menutup penyelamatan UMKM," katanya dalam paparan kinerja, Jumat (29/1).

Pada 2020 kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) BRI tercatat di level 2,99% atau mengalami kenaikan dari 2,8% pada tahun sebelumnya. Alhasil, BRI melakukan pencadangan dengan coverage ratio mencapai 237,73%.

Berdasarkan nilai, profitabilitas BRI tergerus karena pencadangan (provision expenses) yang nilainya mencapai Rp 32,85 triliun pada 2020. Nilai tersebut naik hingga 44,3% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya Rp 22,76 triliun.

Padahal, laba operasional sebelum dipotong provisi, BRI sebesari Rp 59,62 triliun pada 2020 atau turun hanya 9,9% dibandingkan dengan tahun sebelumnya senilai Rp 66,19 triliun. Provisi tersebut yang membuat laba bersih BRI tahun lalu menurun secara signifikan.

Sunarso mengatakan besarnya pencadangan ini merupakan bentuk strategi perseroan untuk menjaga kinerjanya agar terus tumbuh berkelanjutan (sustainable). Sebab, ke depan BRI harus siap menghadapi ketidakpastian dan mungkin ada pemburukan di berbagai aspek.

"Kinerja perusahaan akan tetap terjaga karena kami sudah mencadangkan lebih dari cukup terhadap risiko-risiko yang mungkin timbul," ujarnya.

Dia mengungkapkan BRI sempat tidak membukukan laba sama sekali selama sebulan di tahun lalu. Penyebabnya, BRI mengalokasikan seluruh sumber daya untuk merestrukturisasi dan melakukan penyelamatan terhadap nasabah utamanya, yakni UMKM.

Sepanjang 2020, BRI secara konsolidasi mampu menyalurkan kredit mencapai Rp 938,37 triliun atau tumbuh 3,89% dibandingkan 2019. Kredit BRI masih disokong oleh segmen mikro senilai Rp 351,34 triliun atau tumbuh 14,18% secara tahunan.

Penyaluran kredit di segmen kecil dan menengah, BRI mampu menyalurkan kredit senilai Rp 275,63 triliun sepanjang 2020 atau tumbuh 3,88%. Lalu, kredit ke segmen konsumer senilai Rp 143,68 triliun atau naik 2,26%. Lalu, kredit kepada UMKM senilai Rp 770,65 triliun, tumbuh 8%.

Meski begitu, kredit yang disalurkan kepada korporasi pada tahun lalu, tercatat hanya Rp 167,73 triliun atau mengalami penurunan hingga 11,56% dibandingkan 2019. Sunarso mengatakan, pertumbuhan negatif tersebut sudah merupakan strategi yang tepat karena BRI harus fokus dan berhati-hati terhadap kualitas aset di segmen ini.

Ke depan, BRI masih tetap menjaga pertumbuhan kredit di segmen korporasi, namun pertumbuhannya tidak akan seagresif kredit yang disalurkan ke segmen UMKM. "Yang harus kami ditumbuhkembangkan, didorong pertumbuhannya lebih kencang, adalah UMKM bahkan ke ultra mikro," kata Sunarso.

Sepanjang 2020, BRI mampu mencatatkan pertumbuhan dana pihak ketiga sebesar 9,78% menjadi Rp 1.121 triliun. DPK tersebut, ditopang oleh dana murah alias CASA yang rasionya mencapai 59,67% terhadap total simpanan di BRI.

Hal tersebut, membuat likuiditas di BRI masih sangat longgar, terlihat dari rasio kredit terhadap simpanan alias loan to deposit ratio (LDR) di level 83,66%, melonggar dari level 88,64% pada 2019. Sementara, permodalan alias CAR terjaga di level 21,17%.

Target BRI 2021, Kredit Tumbuh 7%

Pada kesempatan yang sama, Direktur Keuangan BRI Viviana Dyah Ayu Retno mengatakan, 2021 merupakan tahun yang cukup optimis untuk perusahaan. Sehingga, BRI memasang target pertumbuhan kredit sebesar 6%-7%.

"Tentunya secara korporasi kami masih akan fokus di pertumbuhan mikro. Pertumbuhan kredit 2021, driver-nya tentunya masih dari segmen mikro dan kecil," kata Viviana dalam paparan kinerja BRI, Jumat (29/1).

Di tengah likuiditas yang longgar, BRI menargetkan mampu sedikit memperketat likuiditas dengan menargetkan rasio LDR di diksaran 85%, naik dibandingkan 2020. Sementara, untuk NPL BRI bakal menjaga di level 3%. "Untuk NPL, kami masih memonitor dengan ketat progres dari restrukturisasi yang kami bawa dari 2020," katanya.