Dianggap mudah berubah atau volatil, serta kurang transparan, Chief Executive Officer (CEO) HSBC Noel Quinn belum berencana menawarkan investasi uang kripto kepada nasabah. Pernyataan bank terbesar di Eropa tersebut muncul, setelah harga Bitcoin turun hampir 50% dari level tertingginya tahun ini.
Kepada Reuters, Quinn menjelaskan pihaknya tidak terburu-buru untuk melirik uang kripto baik Bitcoin maupun stablecoin. Adapun stablecoin yang dimaksud mengacu pada uang kripto Tether yang mematok nilainya ke aset seperti dolar AS untuk menghindari volatilitas.
“Karena volatilitas, kami tidak menjadikan Bitcoin sebagai kelas aset. Tentu saja ada nasabah kami yang menginginkan itu, tapi kami tidak mempromosikannya sebagai kelas aset di manajemen bisnis kami,” kata Quinn dikutip dari Reuters, Senin (24/5).
Sikap HSBC tentunya bertolak belakang dengan perusahaan keuangan lainnya seperti Goldman Sachs yang menawarkan transaksi kripto mulai Maret 2021. Perusahaan keuangan asal Swiss, UBS juga dikabarkan tengah menjajaki bisnis uang kripto sebagai pilihan produk investasinya.
Di sisi lain, Quinn cenderung percaya pada mata uang digital bank sentral (CBDC) yang sedang dikerjakan beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Menurut dia, CBDC dapat memfasilitasi transaksi internasional dengan dompet elektronik yang lebih sederhana. Upaya tersebut dianggap dapat mengurangi biaya transaksi dan beroperasi secara transparan, serta memiliki nilai simpan yang kuat.
Sementara itu, HSBC tengah dalam tahap pembicaraan dengan beberapa pemerintah terkait inisiatif CBDC. Beberapa negara tersebut meliputi Inggris, Tiongkok, Kanada, dan Uni Emirat Arab.
Proyek CBDC Cina dianggap salah satu yang paling maju di antara ekonomi global utama. Uji coba di seluruh kota Tiongkok turut melibatkan bank milik negara dan dimulai tahun lalu. Selain itu, ada juga proyek percontohan untuk penggunaan lintas batas yang sedang berlangsung di Hong Kong.
Tiongkok juga terlibat dalam proyek terpisah untuk mengeksplorasi CBDC sebagai alat pembayaran lintas batas, di mana HSBC sudah terlibat di dalamnya. Beijing terus maju dengan mata uang digital bank sentral, sekaligus meningkatkan upaya untuk mengekang penggunaan mata uang kripto.
Reuters melaporkan pada April 2021, HSBC telah melarang pelanggan dalam platform perdagangan saham daringnya untuk membeli saham di MicroStrategy yang didukung Bitcoin. Ditegaskan bahwa pihaknya tidak akan memfasilitasi pembelian atau pertukaran produk terkait uang kripto.
Quin menambahkan, keraguannya terhadap mata uang kripto sebagian muncul karena sulitnya menilai transparansi aset tersebut. Selain itu, konvertibilitas atau tingkat kemudahan untuk dikonversikan menjadi uang tunai juga menjadi perhatian.
“Saya melihat Bitcoin lebih sebagai kelas aset daripada alat pembayaran. Pertanyaan sangat sulit, bagaimana menilai itu di neraca nasabah karena sangat tidak stabil,” ujarnya.
Sebelumnya, Komite Stabilitas dan Pengembangan Keuangan Cina yang dipimpin Wakil Perdana Menteri Liu He mengumumkan, Bitcoin sebagai aset yang perlu diatur lebih lanjut. Tindakan keras itu menargetkan penambangan mata uang virtual, di mana Tiongkok berkontribusi sebanyak 70% dari pasokan kripto dunia.
Pernyataan tersebut menyusul larangan transaksi kripto dari tiga lembaga keuangan di Cina, Selasa (18/5). Ketiga badan tersebut yakni Asosiasi Keuangan Internet Nasional Cina, Asosiasi Perbankan Cina, dan Asosiasi Pembayaran dan Kliring Cina. Mereka mengharamkan lembaga keuangan dan perusahaan pembayaran di Negeri Panda menyediakan layanan terkait transaksi mata uang kripto.
Layanan tersebut termasuk pendaftaran akun kripto, perdagangan, kliring dan penyelesaian. Volatilitas harga uang kripto yang signifikan dalam waktu singkat dipandang sebagai perdagangan spekulatif. Untuk itu, ketiga lembaga keuangan Cina secara serius menilai transaksi uang kripto sebagai tindakan yang melanggar keamanan properti. Bahkan, itu dianggap mengganggu tatanan ekonomi dan keuangan normal.