Pergerakan harga minyak diperkirakan masih stabil ke depan, meskipun saat ini tertekan karena merespon kebijakan terbaru dari organisasi negara pengekspor minyak mentah alias OPEC+. Organisasi tersebut mempertahankan kebijakannya untuk secara bertahap mengembalikan pasokan ke pasar meskipun kasus Covid-19 terus meningkat di seluruh dunia.
OPEC+ yang terdiri dari negara anggota dan produsen lain yakni Rusia, sepakat untuk menambah produksi 400 ribu barel per hari (bph) ke pasar minyak global setiap bulannya, mulai Oktober mendatang. Upaya tersebut dilakukan seiring proyeksi OPEC+ bahwa permintaan akan meningkat di 2022, sementara produksi Amerika Serikat (AS) masih tertekan dampak bencana alam di salah satu kilangnya.
Direktur Utama PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, turunnya harga minyak juga dampak dari pergerakan indeks dolar Amerika Serikat (AS). Alhasil, ketika indeks tengah naik, maka permintaan terhadap minyak ikut surut.
“Indeks dolar AS yang terus mengalami pelemahan (sebelumnya) membuat negara- negara besar kembali mengoleksi minyak di pasar perdagangan, itu karena harganya relatif lebih murah,” kata Ibrahim saat dihubungi Katadata.co.id, Kamis (2/9).
Melansir Bloomberg, pada perdagangan pagi ini (3/9) harga minyak mentah jenis West Texas Intermadiate (WTI) kontrak Oktober 2021 mengalami penurunan 0,14% ke level US$ 69,9 per barel. Sedangkan harga minyak jenis Brent Crude kontrak November 2021 mengalami kenaikan 0,05% ke level US$ 73,07 per barel.
Ibrahim memprediksi harga minyak akan stabil di tahun depan. Namun, itu akan sangat bergantung pada prospek vaksinasi di berbagai negara. Dengan pelaksanaan vaksinasi secara merata, diharapkan aktivitas produksi minyak akan mengalami kenaikan dan menggiring harga tetap stabil.
Di samping itu, Ibrahim juga mengingatkan bahwa saat perekonomian mulai membaik, harga minyak tidak akan bergerak terlampau tinggi. Hal itu dikarenakan besarnya pengaruh atau intervensi harga dari produsen minyak AS.
“Seandainya harga minyak terlalu tinggi maka akan dilakukan intervensi, di mana AS akan memproduksi minyak besar-besaran demi menyeimbangkan harga di pasar dunia,” ujarnya.
Untuk tahun depan, Ibrahim memperkirakan harga minyak akan berada di kisaran US$ 56 per barel saat kondisi ekonomi membaik. Pemulihan ekonomi sesuai harapan akan mendorong negara OPEC untuk terus meningkatkan produksi minyaknya dari 400 ribu bph menuju 1.000 bph.
Dia menambahkan, saat ekonomi stabil harga minyak cenderung akan melandai. Sebaliknya, jika harga minyak naik itu mengindikasikan bahwa perekonomian sedang dalam keadaan krisis. “Kemungkinan resesi itu hanya terjadi di tahun 2020 dan 2021,” katanya.
Sejak Mei tahun ini, anggota OPEC+ telah meningkatkan produksi minyaknya secara bertahap. Tujuannya untuk mengembalikan tingkat produksi ke level sebelum kehadiran pandemi Covid-19.
Di sisi lain, produksi minyak Amerika menunjukkan kontraksi lebih lanjut seiring keterbatasan pasokan minyak mentah nasional. Kondisi itu terjadi karena infrastruktur minyak di Negeri Paman Sam tersendat dampak dari Badai Ida yang menyerang kilang minyak di Louisiana.
Penyumbang bahan: Nada Naurah (magang)