Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total aset keuangan syariah Indonesia, di luar saham syariah, mencapai Rp 1.885,65 triliun per Juni 2021. Nilai ini meningkat 4,6% dari total aset per akhir 2020 sebesar Rp 1.801,46 triliun.
Total aset keuangan syariah saat ini terdiri dari, aset dari pasar modal syariah masih mendominasi senilai Rp 1.137,84 triliun. Lalu, aset perbankan syariah Rp 631,55 triliun dan industri keuangan non-bank (IKNB) Rp 116,26 triliun. Aset pasar modal syariah mendominasi karena banyak penerbitan sukuk negara.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat mengatakan industri perbankan syariah mengalami pertumbuhan pada Juni 2021, baik bank umum syariah, unit usaha syariah, dan bank perkreditan rakyat syariah. Dibandingkan periode sama tahun lalu, dana pihak ketiga (DPK) tumbuh 16,54%, aset tumbuh 15,8%, dan pembiayaan yang diberikan tumbuh 7,35%
"Artinya, dibanding bank konvensional, ini sudah tumbuh terus positif sejak pandemi. Ini menunjukkan bahwa dalam kondisi apapun, syariah masih akan dan terus berkembang dengan baik," kata Teguh dalam sesi webinar, Kamis (30/9).
Pangsa pasar perbankan syariah per Juni 2021 memang baru 6,59% dibandingkan konvensional 93,41%. Meski begitu, capaian tersebut merupakann perkembangan positif, karena pencapaian 5% dianggap sulit. Dengan begitu, Teguh berharap pangsa pasar perbankan syariah tembus 10% pada tahun-tahun berikutnya.
Bicara potensi, Teguh menilai perbankan syariah bisa berkembang pesat ke depan karena Indonesia merupakan penduduk muslim terbesar di dunia. Sebanyak 230 juta orang atau 87% dari total penduduk, memeluk agama Islam.
Penduduk Indonesia usia produktif akan bertumbuh sehingga menjadi peluang dari perbankan syariah. Berdasarkan penelitian The Urban Middle Class Millennials pada 2017, penduduk usia produktif Indonesia mencapai 70% pada 2030.
Potensi lainnya adalah punya ekosistem ekonomi syariah yang besar, di mana sinergi dan integrasi sangat diperlukan. Dengan begitu, semua aktivitas keuangan bisa dilakukan menggunakan jasa keuangan syariah.
Teguh mengatakan, potensi juga datang dari catatan 62% investor menyatakan isu lingkungan dan sosial merupakan hal yang penting. Industri syariah cocok dengan profil tersebut karena di samping berbicara soal bisnis, industri syariah juga bicara soal lingkungan dan sosial juga.
Penetrasi internet yang tinggi juga menjadi salah satu peluang bagi industri perbankan syariah. Pengguna internet Indonesia mencapai 196,7 juta berdasarkan survei penetrasi Q2 2019-2020 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet. "Penetrasinya mencapai 73,3% dari total populasi Indonesia 266,9 juta," kata Teguh.
Di samping peluang, ada sejumlah tantangan untuk pengembangan perbankan syariah, utamanya karena perubahan ekosistem perbankan yang sangat cepat, baik untuk konvensional maupun untuk syariah.
"Selain potensi, terdapat tantangan perbankan syariah yaitu perubahan ekosistem perbankan yang cepat," kata Teguh.
Dengan adanya transformasi digital, tantangan perbankan secara umum adalah bank harus meningkatkan skala usahanya, daya saing menjadi meningkat, dan kapasitas modal yang perlu dinaikan. Tantangan laion adalah bertambah banyaknya risiko digital yang harus diimbangan dengan penguatan keamanan siber dan risiko kegagalan sistem.
Untuk itu, OJK menyusun peta jalan (roadmap) pengembangan perbankan syariah Indonesia periode 2020 hingga 2025. "Visi roadmap itu, mewujudkan perbankan syariah yang resilient, berdaya saing tinggi, dan berkontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional dan pembangunan sosial," kata Teguh.
Ada tiga pilar untuk menjawab tantangan dan menyasar peluang bagi industri perbankan syariah. Pertama penguatan identitas perbankan syariah dengan memperkuat nilai-nilai syariah, mengembangkan keunikan produk syariah yang berdaya saing, memperkuat permodalan, efisiensi, dan mendorong digitalisasi perbankan syariah.
Pilar kedua adalah sinergi ekosistem ekonomi syariah. Caranya dengan melakukan sinergi dengan industri halal, dengan kementerian dan lembaga, sinergi lembaga keuangan syariah, sinergi dengan lembaga keuangan sosial Islam, dan meningkatkan kepedulian terhadap ekosistem perbankan syariah.
Pilar terakhir adalah penguatan perizinan, pengaturan, dan pengawasan dari OJK. Pilar ini didirikan dengan langkah mengakselerasi proses perizinan melalui adopsi teknologi, mengembangkan pengaturan yang kredibel, dan meningkatkan efektivitas pengawasan.
"Hal yang penting juga, bagaimana kami menyiapkan pemimpin dan manajemen perubahan, meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM, infrastruktur teknologi informasi, dan melakukan kolaborasi dan kerja sama sektoral," kata Teguh.