Otoritas Jasa Keuangan atau OJK tengah memproses konsolidasi 30 bank perkreditan rakyat (BPR) maupun BPR syariah untuk menjadi 17 BPR. Sepanjang tahun ini, OJK sudah memproses penggabungan 31 BPR menjadi 13 saja.
OJK memang mendorong upaya konsolidasi sehingga jumlah BPR terus turun sejak 2015. Berdasarkan data OJK, pada 2015 jumlah BPR maupun BPR syariah mencapai 1.637. Adapun dari Januari hingga akhir September 2021 jumlahnya 1.481.
"Terjadi penurunan jumlah BPR sebanyak 156 BPR sejak 2015 hingga 2021 akibat mekanisme penggabungan dan peleburan," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana, Selasa (30/11).
Karena terjadi konsolidasi dalam 5 tahun terakhir, banyak BPR yang melakukan penguatan permodalan untuk menuju kelompok usaha yang lebih tinggi. Hal ini terlihat dari jumlah BPR kegiatan usaha 1 yang turun sebanyak 306 menjadi 1.138. BPR di kelompok ini modal intinya di bawah Rp 15 miliar.
Di sisi lain, OJK mencatat ada peningkatan BPR di kelompok kegiatan usaha 2 yang punya modal inti Rp 15 miliar sampai Rp 50 miliar. Terdapat penambahan 114 sehingga saat ini terdapat 272 BPR di kelas tersebut.
Selain itu, OJK juga mencatat terdapat peningkatan sebanyak 36 BPR di kelompok kegiatan usaha 3 yang punya modal inti di atas Rp 50 miliar. Sehingga saat ini jumlah BPR di kelompok ini menjadi 71 BPR.
"Konsolidasi melalui mekanisme penggabungan, peleburan dan pengambilalihan telah menurunkan jumlah BPR dan BPR syariah. Namun, mampu meningkatkan skala usaha dan penguatan kelembagaan," ujar Heru.
Heru mengatakan, kinerja BPR dan BPR syariah secara umum masih terjaga, meski pertumbuhan bisnis sempat melandai. Rasio kecukupan modal (CAR) menunjukkan ketahanan yang baik dan mampu menopang risiko kredit yang menunjukkan tren peningkatan.
Pada September 2021 total aset BPR tumbuh 8,90% dibandingkan periode sama tahun lalu. Dari sisi fungsi intermediasi, BRP catatkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) 11,27% secara tahunan dan kredit atau pembiayaan tumbuh 4,33% secara tahunan.
Berbagai Tantangan BPR dan BPR Syariah
Pada kesempatan tersebut, Heru mengatakan, industri BPR dan BPR syariah tengah menghadapi tantangan, baik dari sisi eksternal maupun tantangan struktural. Dari sisi eksternal, terdapat perubahan ekosistem global dan nasional.
Perubahan ekosistem tersebut ditandai dengan perubahan perilaku masyarakat atas inovasi produk dan layanan. Lalu, perkembangan digital ekonomi. Perkembangan teknologi informasi di bidang keuangan. Terakhir, besarnya investasi infrastruktur TI.
Selain itu, industri BPR dan BPR syariah juga menghadapi tantangan struktural. Hal itu terlihat dari didominasi BPR berskala kecil, penerapan tata kelola yang masih perlu ditingkatkan, dan keterbatasan pada infrastruktur TI.
"Tantangan struktural lainnya adalah kuantitas dan kualitas SDM, serta produk dan layanan BPR dan BPR syariah yang masih bersifat product centric," kata Heru.
Persaingan di antara lembaga keuangan pada segmen mikro kecil menengah terbilang cukup ketat. Pasalnya, BPR harus bersaing dengan shadow banking, fintech dengan keunggulan teknologi dan pengaturan yang relatif lebih longgar.
BPR juga terhimpit oleh produk dan layanan digital bank umum yang masuk area bermain BPR dan BPR syariah. Bank umum digital tersebut menawarkan layanan jauh lebih beragam dibandingkan BPR saat ini.
"Tantangan lain yaitu adanya kredit-kredit program dan skema kredit ultra mikro seperti kredit usaha rakyat (KUR)," kata Heru.
Di tengah persaingan yang semakin ketat, kondisi pandemi Covid-19 juga menjadi tantangan jangka pendek bagi BPR dan BPR syariah. Terutama terkait kesiapan industri dalam menghadapi dampak pandemi serta kebijakan dari OJK terkait pandemi.
Dari sisi internal, terdapat tantangan struktural terkait permasalahan permodalan, tata kelola, infrastruktur, keterbatasan variasi produk dan layanan, serta peran BPR dan BPR syariah bagi perekonomian wilayah.