Kisah Para Korban Asuransi Unit Link, Bagaimana Awal Mereka Terpikat?
Sejumlah korban produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi atau unit link, kecewa dengan kinerja Otoritas Jasa Keuangan. Musababnya, produk asuransi tersebut berada di bawah pengawasan otoritas keuangan ini.
Korban-korban pun mengadukan kasusnya kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Komisi XI yang bermitra dengan OJK, Senin (6/12). Dalam rapat tersebut, hadir Kepala Eksekutif Bidang Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) OJK Riswinandi.
Berdasarkan surat edaran OJK, unit link disebutkan sebagai produk asuransi yang paling sedikit memberikan perlindungan terhadap risiko kematian. Produk ini memberikan manfaat yang mengacu pada hasil investasi dari kumpulan dana yang khusus dibentuk untuk produk asuransi.
Bagaimana kisah para korban dan kekecewaan mereka terhadap OJK?
Teti Marpaung merupakan nasabah asuransi unit link milik Prudential yang membeli tiga polis sejak 2013. Perempuan asal Medan, Sumatera Utara tersebut mengatakan, pada Januari 2020 nilai tunai dari polis yang dimilikinya tidak tersisa sepeser pun.
"Nilai tunai polis yang saya ikut selama 6,5 tahun, tersisa Rp 0, tidak tahu hilang ke mana. Ini pencurian," kata Teti dalam rapat tersebut.
Teti menyesali perusahaan asuransi tidak memberikan penjelasan lengkap segala risiko dan biaya yang harus ditanggung sebelum masuk ke polis tersebut. Sayangnya, proses investigasi oleh perusahaan asuransi berjalan lambat dan memakan waktu hampir dua tahun.
Akhirnya, Teti berniat melaporkan kasus ini ke OJK di daerahnya, Kota Medan. Namun, sejumlah korban asuransi menyarankan Teti untuk tidak perlu melaporkan ke OJK karena tidak ada gunanya. "Mereka bilang OJK itu singkatan dari Ora Jelas Kerjonyo. OJK taringnya sudah ompong, tidak ada kerjanya," kata Teti.
Meski begitu, ia tetap berkeras melaporkan kasus ini karena produk polis senilai ratusan juta rupiah tersebut diawasi oleh OJK. "Tentu saya akan menanyakan ke OJK kenapa mereka mengawasi tapi seakan-akan OJK ini takut dengan perusahaan swasta itu," katanya.
Akhirnya Teti melaporkan kasusnya ke OJK pada awal September 2021. Setelah 20 hari kerja, ia mendapatkan jawaban dari OJK. Namun dia tidak puas dengan jawaban tersebut karena tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan.
Menurutnya, jika OJK bertanggung jawab mengawasi dan menjalankan fungsi pengawasan asuransi, memang sudah sepatutnya nasabah diladeni. "Memang itu kerja OJK di bagian pelayanan konsumen. Ke mana lagi kami mau mengadu?" ujar Teti.
Sehingga, Teti meminta OJK untuk tegas kepada perusahaan asuransi dan tidak diatur-atur oleh pihak lain karena harus bekerja untuk masyarakat. "Kalau perusahaan salah, ya salah. Untuk apa takut sama Prudential, AXA Mandiri, dan lainnya," katanya.
Hendro, korban asuransi produk unit link milik Prudential juga mengkritik kerja OJK karena dinilai tidak punya pendirian. Ia mengatakan, sudah melaporkan kasusnya ke OJK tapi tidak kunjung menuai titik terang. Akhirnya, dia melaporkan kasusnya ke polisi.
Karena melapor ke pihak kepolisian, OJK pun tidak melanjutkan penanganan kasus asuransinya. "Apakah benar tanggung jawab sebagai pengawas seperti itu? Langsung lepas tangan semuanya?" kata Hendro.
Hendro mengatakan, melawan perusahaan asuransi sangat tidak praktis, bahkan saat kasusnya sudah ditangani oleh kepolisian. Sudah tiga laporan yang ia layangkan, selama empat tahun masih dalam tahap penyelidikan.
Informasi yang dia terima dari penyidik, OJK pernah dimintai keterangan. Salah satu kendala penyidik karena OJK tidak mempermasalahkan kasus asuransinya, jika pihak Prudential menilai tidak ada masalah.
"Kalau menurut Prudential ini tidak ada masalah, ya sudah tidak ada masalah. Segitu takutkan OJK terhadap perusahaan asuransi?" ujar Hendro.
Kasus asuransi yang dialami oleh Hendro, utamanya, banyak pemalsuan tanda tangan. Total ada 10 polis dan semuanya ada pemalsuan, baik tanda tangan maupun pemeriksaan medis (medical check up).
Hingga saat ini, dia melihat tidak ada itikad baik dari perusahaan. Kebingungan juga menyergapnya lantaraan di kepolisian pun tidak ada perkembangan selama empat tahun ini.
Korban asuransi lainnya adalah Agus Gunawan yang memiliki polis unit link dari AXA Mandiri. Dalam rapat tersebut, ia ingin OJK untuk menghapuskan produk asuransi berjenis unitlink karena konsepnya merugikan nasabah.
Agus bercerita, awalnya tergiur dengan konsep yang ditawarkan oleh produk unitlink, di mana ada investasi yang terus berkembang, sambil memiliki asuransi kesehatan dan jiwa. "Betapa dahsyatnya kata-kata itu sehingga saya tertarik beli polis tersebut," katanya.
Pada tahun pertama hingga ketiga, Agus diminta untuk terus berinvestasi dan ia mengaku tidak pernah menunda. Namun, pada tahun keenam, nilai polisnya mulai turun. Akhirnya, pada tahun kesepuluh, sebelum akhirnya memutuskan untuk tutup polis, nilainya menyusut 80 % atau setara Rp 180 juta.
Agus mengatakan, pernah mendapatkan penjelasan dari manajer investasi AXA Mandiri yang mengatakan penurunan itu sejalan dengan kinerja harga saham di pasar modal. Menurutnya, saat membuka polis, indeks harga saham gabungan (IHSG) ada di level 2.900. Sementara, saat hendak tutup polis, IHSG di level 6.000.
"Itu kan tidak mencerminkan harga saham turun. Lagi pula kalau harga saham turun dalam 10 tahun, apa itu tidak suspensi penjualnya oleh Bursa Efek Indonesia?" katanya.
Menurutnya, konsep produk asuransi unit link tersebut sangat merugikan nasabah. Selain itu, tidak ada negara lain yang menerapkan konsep unit link. "Konsep unit link ini sangat biadab. Saya ingin minta ke OJK, tolong dihapuskan saja itu unit link, tidak ada di negara lain konsep ini," katanya.
Katadata.co.id masih menunggu konfirmasi dari AXA Mandiri setelah menghubungi Presiden Direkturnya Handojo G. Kusuma. Sementara, Katadata.co.id sudah menghubungi Head of Corporate Communications Prudential Indonesia Kamelia Mohamad namun belum ada respons.
OJK: Operasional Perusahaan Asuransi Sudah Sesuai Peraturan
Menanggapi hal tersebut, Kepala Eksekutif Bidang Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi mengatakan sudah menindak perusahaan asuransi yang dilaporkan oleh nasabah. OJK pun sudah meminta perusahaan untuk menindaklanjuti permasalahan tersebut.
"Karena ini akan mengganggu reputasi perusahaan asuransi kalau terjadi masalah," kata Riswinandi.
Riswinandi mengatakan, dari hasil pengawasan yang dilakukan OJK, operasional perusahaan asuransi sudah sesuai dengan ketentuan yang diterapkan OJK. Meski begitu, ia mengakui industri asuransi tidak akan lepas dari perselisihan pada saat penutupan asuransi.
Perselisihan (dispute) bisa timbul akibat berbagai macam penyebab, seperti pemegang polis tidak paham program atau tidak mau membaca polis. "Padahal kalau mau melakukan perikatan, perjanjian itu harus dipahami. Bukan membela diri, ini secara umum," kata Riswinandi.
Sehingga, yang menjadi perhatian oleh OJK adalah pemahaman akan produk asuransi unit link. Produk unit link merupakan produk yang sangat kompleks sehingga harus mengerti risiko-risikonya.
Meski begitu, Riswinandi memastikan tetap memproses pengaduan dari pemegang polis. Informasi terkait agen yang bermasalah, akan menjadi masukan bagi otoritas untuk didalami bersama perusahaan asuransi.
Adapun, OJK mencatat terdapat 139 perusahaan asuransi yang mendapat izin pada 2020. Jumlah tersebut menurun drastis selama lima tahun terakhir.
Pada 2019 dan 2018 jumlahnya sebanyak 151 perusahaan. Lalu pada 2017 mencapai 152 perusahaan. Sedangkan, pada 2016 sebanyak 146 perusahaan.