Capres Ingin Pisahkan Ditjen Pajak dari Kemenkeu, Ini Pendapat Pakar

ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.
Petugas melayani wajib pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pasar Minggu, Jakarta, Senin (9/1/2023).
Penulis: Zahwa Madjid
31/10/2023, 09.26 WIB

Tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden telah menyampaikan visi, misi, dan program kerjanya usai resmi mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dua diantara paslon berencana memisahkan Ditjen Pajak (DJP) dan Ditjen Bea dan Cukai dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Hal tersebut tertulis dalam visi misi pasangan capres dan cawapres Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar, dan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Pada poin kedelapan, visi dan misi Anies dan Cak Imin yang bernama “AMIN” tertulis pasangan ini ingin merealisasikan badan penerimaan negara langsung di bawah presiden untuk memperbaiki integritas dan koordinasi antar instansi guna menaikkan penerimaan negara.

Adapun dalam dokumen program kerja pasangan Prabowo dan Gibran yang berjudul "Bersama Indonesia Maju" tertulis reformasi tata kelola pemerintahan. Salah satunya, membentuk badan penerimaan baru.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar menilai pembentukan BPN ini sudah tak relevan dan bukan isu yang penting dalam agenda lima tahun ke depan.

Sejarahnya, pemisahan ditujukan agar DJP lebih fleksibel dan mudah untuk merekrut pegawai, ada isu keterbatasan pegawai. Namun dengan perkembangan teknologi dan administrasi sekarang, kebutuhan pegawai dapat dikurangi.

DJP juga sedang mempersiapkan untuk implementasi Pembaruan sistem inti administrasi perpajakan (PSIAP) atau core tax system. Kebutuhan penggunaan SDM dapat dikurangi karena probis akan dilakukan oleh sistem tak lagi manual yang membutuhkan manusia. Jadi, isu BPN dinilai sudah tidak relevan.

“Karena isu BPN ini sudah tak relevan lagi maka pembentukan BPN menjadi tidak efektif? Apa faedahnya membuat lembaga baru yang berganti nama namun administrasi, birokrasi, dan SDM-nya sama? Cuma buang-buang uang kan?,” kata Fajry.

Oleh karena itu, Fajry menilai lebih baik melanjutkan reformasi administrasi, birokrasi, dan perbaikan SDM DJP. “Masyarakat pastinya lebih ingin DJP yang bersih dan berintegritas daripada membuat lembaga baru yang ganti nama saja,” kata Fajry.

Pengamat perpajakan, Prianto Budi Saptono menjelaskan pemisahan DJP dan kemen keuangan sangat mungkin dilakukan, karena sudah pernah direncanakan sebelumnya melalui RUU KUP. “Tapi, ketika Sri Mulyani menjadi Menteri Keuangan, rencana tersebut sirna sehingga DJP tetap di bawah Kemenkeu,“ kata Prianto.

Prianto menilai, seperti halnya praktik di beberapa negara, pemisahan antara otoritas pajak berbentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) dengan Kemenkeu itu bertujuan agar BPN dapat fokus pada intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan.

Prianto menjelaskan pemisahan antara otoritas pajak dengan Kemenkeu sangat mungkin terjadi. Berikut beberapa contoh negara yang sudah memisahkan otoritas pajak dari kemenkeu adalah:

  1. AS: Internal Revenue Service (IRS);
  2. Singapura: Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS)
  3. Malaysia: Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN)
  4. Australia: Australian Tax Office (ATO).
  5. Pakistan: Federal Board of Revenue (FBR)

Jika badan penerimaan negara terpisah dengan Kemenkeu, Prianto menilai sisi positifnya, presiden dapat langsung berkoordinasi dengan BPN untuk optimalisasi penerimaan negara. Tim BPN dapat langsung fokus ke tugas utama tersebut.

“Dari sisi negatifnya, sekitar 40 ribu pegawai DJP harus pisah dari Kemenkeu. UU KUP juga harus diubah lagi setelah ada revisiannya di UU HPP. UU Keuangan Negara juga harus diamandemen,” ujarnya.

Reporter: Zahwa Madjid