Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) merugi hingga US$ 712,72 juta atau setara Rp 10,47 triliun (kurs: Rp 14.700 per US$) sepanjang semester I 2020. Capaian ini berkebalikan dari kinerja periode yang sama 2019 dengan torehan laba bersih sebesar US$ 24,11 juta atau setara Rp 354,48 miliar.
Dalam laporan keuangan semester I 2020 yang belum diaudit, manajemen Garuda menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 telah menciptakan lingkungan bisnis yang menantang untuk bisnis maskapai secara global. Pasalnya, masyarakat menghadapi pembatasan perjalanan dan menghindari perjalanan yang tidak penting.
"Pandemi Covid-19 telah memberikan pukulan yang besar pada kondisi operasional dan keuangan Perusahaan," tulis manajemen dalam keterbukaan informasi yang dikutip Kamis (30/7).
Kerugian yang dialami oleh Garuda, sejalan dengan anjloknya pendapatan usaha hingga 58,18% menjadi hanya US$ 917,28 juta, dari US$ 2,19 miliar pada semester I 2019. Penyebab utamanya adalah turunnya pendapatan dari penerbangan berjadwal.
Penerbangan berjadwal Garuda merupakan kontributor terbesar pada pos pendapatan. Pada semester I 2019, pos ini menyumbang US$ 1,85 miliar pada pendapatan. Namun, pada periode yang sama tahun ini, anjlok 59,55% menjadi hanya US$ 750,25 juta saja.
Begitu pula dengan pendapatan lainnya, dimana tahun lalu bisa ikut menyokong pendapatan usaha senilai US$ 334,06 juta. Tapi hal pada semester I 2020, hanya mampu menyumbang US$ 145,47 juta yang artinya ada penurunan 56,45% secara year on year (yoy).
Meski begitu, komponen pendapatan usaha dari penerbangan tidak berjadwal Garuda mengalami peningkatan. Semester I 2020 mampu menyumbang pendapatan US$ 21,54 juta atau mengalami lonjakan hingga 392,5% dari US$ 4,37 juta saja.
Hal tersebut sejalan dengan langkah manajemen Garuda untuk mengoptimalisasi pendapatan penumpang berjadwal, baik rute domestik dan internasional melalui optimalisasi produksi. Garuda meningkatkan charter revenue yang berkelanjutan dengan membuat kerja sama kemitraan jangka pendek dan jangka panjang.
Penurunan pendapatan usaha yang drastis, sebenarnya juga diikuti oleh penurunan beban usaha Garuda, namun tidak sesignifikan penurunan pendapatan. Sepanjang semester I 2020 beban usaha Garuda sebesar US$ 1,64 juta, turun hanya 21,99% dibandingkan dengan periode sama tahun lalu sebesar US$ 2,10 juta.
Komponen terbesar beban usaha Garuda berasal dari beban operasional penerbangan, dimana pada semester I 2020 sebesar US$ 945,58 juta, turun 23,49% dari US$ 1,23 miliar tahun lalu. Begitu pula dengan beban pemeliharaan dan perbaikan yang pada semester I 2020 sebesar US$ 224,42 juta, turun hanya 7,54% dari US$ 242,72 juta.
Meski begitu, pada semester I 2020, Garuda bisa membukukan keuntungan bersih dari selisih kurs senilai US$ 20,27 juta, padahal pada periode yang sama tahun lalu mengalami kerugian US$ 16,16 juta. Namun, Garuda tetap mengalami rugi usaha senilai US$ 707,22 juta, sedangkan sebelumnya membukukan laba usaha senilai US$ 81,98 juta.
Adapun, beberapa strategi Garuda yang diterapkan dalam menghadapi pandemi Covid-19 seperti meningkatkan pendapatan kargo berjadwal, salah satunya dengan melakukan penerbangan cargo only selama masa pandemi untuk mengompensasi penurunan pendapatan dari penumpang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Lainnya, manajemen Garuda melakukan negosiasi dengan lessor terkait penurunan biaya sewa pesawat, penundaan kedatangan pesawat baru, maupun opsi early redelivery pesawat. Termasuk menutup rute-rute yang tidak menghasilkan profit.
Adapun Garuda Indonesia pada kuartal I mencatatkan kerugian sebesar US$ 120,2 juta. Jumlah itu menjadi kerugian perusahaan pada kuartal I paling besar dalam lima tahun terakhir.
Kerugian yang dialami Garuda Indonesia merupakan imbas dari pandemi Covid-19. Penerapan jaga jarak fisik atau karantina wilayah di sejumlah provinsi dan negara membuat mobilitas masyarakat dan kegiatan penerbangan dibatasi.