Pemerintah tengah membentuk holding badan usaha milik negara (BUMN) sektor pariwisata dan pendukung. Pembentukan ini memang sudah direncanakan lama, tapi mendapat momentum di tengah pandemi Covid-19 yang membuat sektor pariwisata dan pendukung mengalami tekanan.
Kementerian BUMN menyatakan rencana pembentukan holding, transformasi di bidang pariwisata dan penerbangan sangat diperlukan. Melalui penataan yang lebih baik mengenai rute penerbangan, penentuan hub, penentuan super-hub, dan penggabungan BUMN penerbangan dan pariwisata.
"Sehingga pondasi ekonomi di sektor pariwisata dan transportasi akan semakin kokoh dan semakin baik, dan bisa berlari lebih cepat lagi," seperti dikutip Katadata.co.id, Selasa (10/11) dari paparan oleh Kementerian BUMN yang digelar Oktober 2020 lalu.
Pemerintah bakal menunjuk PT Survai Udara Penas untuk menjadi induk holding. Alasannya, karena saham Penas 100% dimiliki oleh pemerintah dan kewajiban keuangan Penas mayoritas kepada perusahaan milik pemerintah juga.
Selain itu, Penas dipilih karena mempertimbangkan fleksibilitas untuk merestrukturisasi sumber daya manusia. Saat ini Penas hanya memiliki lima orang karyawan. Dari sisi bisnis, fleksibilitas juga bisa didapat karena hanya memiliki satu anak usaha saja.
"Maka transformasi Penas sebagai induk holding akan lebih mudah dan ringkas. Faktor-faktor pertimbangan ini untuk mempersingkat proses pembentukan holding," seperti dikutip dari bahan paparan yang didapat Katadata.co.id, Selasa (10/11).
Penas merupakan perusahaan bergerak di bidang penyedia foto udara, survei geofisika, profil laser dan radar, pemetaan, dan sewa pesawat terbang untuk survei. perusahaan ini didirikan pada 1992. Berdasarkan profil BUMN yang dirilis Kementerian BUMN, nilai aset perusahaan ini pada 2018 hanya Rp 49 miliar. Sangat jauh jika dibandingkan Garuda Indonesia yang mencapai Rp 74 triliun pada 2019.
Sejak 2012, Survai Udara Penas diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) untuk direvitalisasi dan restrukturisasi hingga sekarang.Selama berada dalam restrukturisasi PPA, kinerja BUMN ini tak juga kunjung membaik. Data terakhir yang dipublikasikan Kementerian BUMN pada 2012-2016 menunjukkan perusahaan selalu merugi. Pada 2012 nilai kerugiannya mencapai Rp 20 miliar dan pada 2016 sebesar Rp 19 miliar.
Tahapan Pembentukan Holding BUMN Pariwisata
Pada tahap pertama, pemerintah melakukan inbreng terhadap saham tujuh perusahaan pelat merah kepada Penas. Pemerintah menargetkan tahapan pertama ini terlaksana di kuartal terkahir 2020.
Adapun, ketujuh perusahaan yang sebelumnya dimiliki pemerintah secara langsung tersebut adalah PT Angkasa Pura I, PT Angkasa Pura II, PT Garuda Indonesia Tbk, PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (ITDC), PT Taman Wisata Candi Borobudur Prambanan Ratu Boko (TWC), PT Hotel Indonesia Natour (Inna Hotels & Resorts), dan PT Sarinah.
Angkasa Pura I dan II merupakan perusahaan pengelola bandar udara (bandara). Angkasa Pura I mengelola bandara wilayah tengah dan timur seperti Bali, Yogyakarta, Manado dan lainnya. Sementara Angkasa Pura II mengelola bagian tengah dan barat seperti bandara Jakarta, Medan, Jawa Barat, dan lainnya.
Garuda Indonesia merupakan maskapai milik pemerintah yang menyediakan layanan baik full service carrier maupun yang berbiaya murah (low cost carrier) melalui anak usahanya Citilink. Lalu ITDC merupakan pengembang destinasi wisata, seperti Mandalika dan Labuan Bajo, termasuk pembuat konten untuk pariwisata Indonesia.
TWC merupakan pengelola aset berbasis warisan budaya. BUMN ini mengelola Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko. Inna Hotels & Resorts pengelola dan pengembang usaha destinasi berbasis hotel. Sedangkan Sarinah, pengembang dan pemasar produk lokal yang juga menjalankan manajemen penjualan bebas bea (duty free).
Anggota holding nantinya akan berstatus sebagai anak usaha BUMN. Namun, berdasarkan PP 72 tahun 2016, tetap diperlakukan sama sebagaimana BUMN yang sahamnya dipegang langsung oleh pemerintah. Kementerian BUMN tetap memiliki saham dwiwarna pada masing-masing entitas anggota holding.
Tahap kedua dari pembentukan holding pariwisata dan penunjang yaitu melakukan restrukturisasi portofolio yang dimulai tahun depan dan ditargetkan selesai pada 2022 mendatang. Dalam tahap ini, holding dibagi menjadi empat klaster yang berisi beberapa BUMN.
Klaster bandara, akan berisi Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II. Lalu, ada klaster penerbangan yang berisi Garuda Indonesia dan PT Pelita Air Service yang saat ini sahamnya dimiliki oleh PT Pertamina (Persero).
Klaster berikutnya adalah manajemen destinasi yang di dalamnya berisi ITDC, TWC, Inna Hotels & Resorts, Aero Wisata, dan Garuda Indonesia Holiday France. Dua nama terakhir yang disebutkan, saat ini merupakan anak usaha Garuda Indonesia.
Kementerian BUMN juga akan membentuk klaster servis aviasi dan logistik yang berisi seperti Sarinah, Angkasa Pura Kargo, Garuda Indonesia Cargo, Gapura, GMF Aero Asia, Aero Express, Aerofood ACS, dan masih banyak lagi. Mayoritas merupakan perusahaan yang saat ini dimiliki oleh Garuda, Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II.
Holding pariwisata diharapkan dapat mendorong pengembangan infrastruktur pariwisata, peningkatan daya saing, dan penguatan kemampuan pendanaan di masa depan. Kemudian percepatan pemulihan sektor pariwisata setelah terpuruk imbas pandemi Covid-19.
Presiden Direktur Angkasa Pura II Muhammad Awaluddin mengatakan kolaborasi di dalam holding dapat mengakselerasi pertumbuhan BUMN terkait. Apalagi dalam menghadapi Covid-19 dan pada masa pemulihan.
Menurutnya, holding menciptakan koordinasi tunggal dalam pengembangan rencana induk (masterplan) dan mengintegrasikan keunggulan masing-masing BUMN dalam satu ekosistem. "Sehingga potensi yang ada dapat dioptimalkan guna memajukan industri pariwisata di Indonesia," katanya melalui siaran resmi.
Menurutnya, pembentukan holding ini juga bermanfaat bagi masyarakat karena semakin banyak ketersediaan produk dan jasa pariwisata yang berkualitas, terjangkau, dan terintegrasi. Integrasi menjadi penting karena menurut Angkasa Pura, 78,5% perjalanan udara dalam rangka wisata yang memiliki kolaborasi antar mata rantai pariwisata.
Bagi Angkasa Pura II, holding ini bisa mendorong optimalisasi manajemen portofolio, standar pelayanan dan operasional yang lebih baik, memperluas peluang ekspansi, memaksimalkan pengembangan konektivitas nasional dan global, serta meningkatkan kapasitas SDM.
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan dengan adanya holding akan membuat anggotanya menjadi lebih baik karena sinergi bisa berjalan. "Kami berharap Garuda akan menjadi lebih baik lagi dengan adanya holding pariwisata dan pendukung," katanya kepada Katadata.co.id.
Adapun, akibat dampak dari pandemi COvid-19, Garuda harus mengalami kerugian senilai US$ 1,07 miliar atau setara Rp 15,34 triliun hingga triwulan ketiga 2020 (asumsi kurs: Rp 14.280 per dolar). Meski begitu, Kementerian BUMN menilai Garuda punya peran penting dalam sektor pariwisata dan aviasi dengan pangsa pasar yang signifikan.
Oleh karena itu, perkembangan Garuda akan memiliki dampak langsung kepada pertumbuhan BUMN-BUMN lain, terlebih dalam holding ini. Sehingga, dengan kehadiran Garuda yang masih rugi, Kementerian BUMN tidak melihat ada dampak negatif dari bergabungnya Garuda dalam holding ini.