Ramai Emiten Gagal Bayar Utang, BEI Lindungi Investor Saham

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.
Petugas kebersihan melintas di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (17/5/2021).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Lavinda
18/6/2021, 19.02 WIB

Beberapa emiten mengalami gagal bayar utang dalam beberapa waktu terakhir, yakni PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) Sritex dan PT Tridomain Performance Materials Tbk (TDPM). Bagaimana upaya Bursa Efek Indonesia (BEI) melindungi pelaku pasar dari kasus gagal bayar surat utang?

Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menjelaskan, Bursa memiliki wewenang untuk menghentikan sementara perdagangan atau suspensi saham masing-masing emiten yang gagal membayar surat utang sebagai upaya melindungi pelaku pasar saham.

Sehubungan dengan telah terjadinya gagal bayar atas surat utang tersebut, bursa telah menghentikan sementara seluruh efek kedua emiten tersebut. Saham TDPM dibekukan pada 27 April, sementara SRIL disuspensi pada 18 Mei.

Nyoman mengatakan, bursa selalu memantau proses penyelesaian utang emiten, dan akan mencabut suspensi saham apabila seluruh permasalahan dari masing-masing perusahaan telah selesai .

Sepanjang proses penyelesaian surat utang tersebut, bursa pun terus menagih penjelasan kepada masing-masing perusahaan, mengundang rapat dengar pendapat dengan bursa, dan meminta perusahaan menyampaikan keterbukaan informasi.

"Guna memastikan publik mendapatkan informasi terkini atas perkembangan penyelesaian permasalahan perusahaan tercatat," kata Nyoman kepada awak media, Jumat (18/6).

Namun, bursa tidak memiliki wewenang untuk mengintervensi proses pembayaran kewajiban emiten. Nyoman mengatakan, pencegahan dan penyelesaian pembayaran utang diserahkan pada manajemen perusahaan. Menurut dia, manajemen perusahaan merupakan organ perusahaan yang menjadi nahkoda. Pihak ini yang menjalankan kegiatan operasional perusahaan termasuk mencari sumber pendanaan untuk kebutuhan perusahaan.

"Termasuk juga memikirkan dengan seksama pemenuhan atas kewajiban pembayarannya. BoD juga memitigasi risiko dari sisi availability pemenuhan arus kasnya," kata Nyoman.

Dengan demikian, peran Bursa dalam kasus gagal bayar surat utang ini adalah melakukan pemantauan pemenuhan kewajiban perusahaan dan menyediakan disclosure yang optimal untuk pengambilan keputusan investasi investor.

Jika bursa mendeteksi indikasi awal perusahaan akan mengalami gagal bayar, maka bursa berwenang untuk menyampaikan permintaan penjelasan untuk disampaikan lewat keterbukaan informasi.

Kasus gagal bayar surat utang sedang banyak dialami oleh emiten. Seperti TDPM yang memiliki beberapa kewajiban, seperti surat utang jangka menengah alias medium term note (MTN) II yang diterbitkan 2018. Nilainya pokoknya Rp 410 miliar dan telah jatuh tempo pada 27 April lalu.

Selain itu, ada MTN I yang diterbitkan pada 2017, dengan nilai pokok US$ 20 juta dan jatuh tempo pada 18 Mei 2021. MTN lainnya adalah MTN III yang diterbitkan 2018 dengan nilai pokok Rp 100 miliar dan jatuh tempo pada 4 Juli 2021.

Perseroan juga memiliki obligasi I dengan nilai Rp 250 miliar yang jatuh tempo pada 8 Januari 2022 mendatang dan obligasi II senilai Rp 400 miliar yang jatuh tempo 28 Juni 2022. Selain itu, perseroan juga memiliki beberapa kewajiban kepada bank, baik di induk maupun di anak usaha.

Sementara Sritex memiliki gagal bayar pokok dan bunga MTN Sritex Tahap III Tahun 2018. Hal itu disebabkan, Sritex tengah menjalankan proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). "Semua utang tanpa terkecuali akan otomatis direstrukturisasi," kata Direktur Keuangan Sritex Allan Moran Severino dalam keterbukaan informasi.

Karena PKPU tersebut, Sritex tidak boleh melakukan pembayaran utang, termasuk kepada MTN yang jatuh tempo pada 18 Mei 2021, kecuali Sritex melakukan pembayaran kepada semua kreditur.

Reporter: Ihya Ulum Aldin