Erick Thohir: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Hadapi 3 Masalah Keuangan

ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/hp.
Foto udara proyek pembagunan stasiun dan jalur Kereta Cepat Jakarta - Bandung di Telukjambe Barat, Karawang, Jawa Barat, Rabu (19/5/2021).
Penulis: Ihya Ulum Aldin
Editor: Lavinda
9/7/2021, 18.44 WIB

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengaku menghadapi tiga masalah keuangan dalam proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Persoalan itu antara lain, kekurangan ekuitas dasar (base equity), pembengkakan biaya (cost overrun), dan defisit kas (cash deficit) pada masa operasi.

Ketiga masalah keuangan tersebut menjadi dasar Kementerian BUMN untuk mengusulkan solusi berupa penyertaan modal negara (PMN) senilai Rp 8,46 triliun melalui PT KAI (Persero) untuk proyek kereta KCJB. PMN yang dimintakan merupakan PMN tambahan 2021 yang sudah dimasukkan dalam anggaran.

"Kami harapkan base equity ini dimasukkan dari PMN karena memang perusahaan-perusahaan ini sedang dalam kondisi tertekan karena Covid-19," ujar Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam rapat dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Wakil yang berlangsung Kamis (8/7).

Lebih detail, Kartiko menyampaikan PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) kurang menyetorkan kewajiban ekuitas kepada PT Kereta Cepat Indonesia–China (KCIC), pemilik proyek KCJB. Seperti diketahui, KCIC merupakan perusahaan patungan antara PSBI (60%) dan Beijing Yawan (40%).

Ekuitas dasar yang tak disetor nilainya mencapai Rp 4,36 triliun. Jumlah itu terdiri dari kekurangan setoran dari PT Wijaya Karya Tbk Rp 240 miliar, PT Kereta Api Indonesia Rp 440 miliar, PT Perkebunan Nusantara VIII Rp 3,14 triliun, dan PT Jasa Marga Tbk Rp 540 miliar.

"(Kekurangan kewajiban) ekuitas awal, ini terjadi karena memang ada dua hal waktu itu yang miss," kata Kartika yang akrab disapa Tiko dalam rapat dengan Dewan Perwakilan Rakyat Komisi VI, Kamis (8/7) secara virtual.

Tiko menuampaikan setoran PTPN VIII awalnya berupa inbreng tanah di Walini, Jawa barat. Dalam perkembangannya, pihak Tiongkok yang ikut dalam konsorsium KCIC tidak menerima inbreng dalam bentuk tanah. Pihak Tiongkok ingin setoran tersebut dalam bentuk tunai.

"Memang mintanya dalam bentuk cash, padahal PTPN VIII tidak memiliki kemampuan untuk injeksi cash sebesar itu," kata Tiko.

Selanjutnya, setoran Jasa Marga awalnya berupa pengakuan hak guna jalan (rights of ways) tol miliknya. Namun dalam perjalanannya, penggunaan rights of ways tol ini merupakan hak dari Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN), bukan dari Jasa Marga. "Ada kesalahan dari kajian hukum di awal," katanya.

Di sisi lain, setoran modal dasar dari Wijaya Karya dan KAI tidak bisa dilakukan karena saat ini keduanya sedang mengalami keterbatasan keuangan akibat pandemi Covid-19.

Terkait masalah ekuitas dasar yang tak memadai, Kementerian BUMN mengusulkan solusi berupa PMN senilai Rp 4,36 triliun melalui KAI untuk proyek KCJB. 

Permasalahan lain yang dihadapi dalam proyek KCJB ini adalah pembengkakan biaya atau cost overrun. Tiko mengestimasi pembengkakan biaya tersebut mencapai US$ 1,4 miliar hingga US$ 1,9 miliar atau setara dengan Rp 20,28 triliun hingga Rp 27,53 triliun berdasarkan asumsi nilai tukar Rp 14.491 per US$.

Hal tersebut bisa terjadi karena ada keterlambatan pembebasan lahan dan perencanaan yang terlalu optimis. Selain itu, kurang kuatnya manajemen proyek menyebabkan adanya potensi pembekakan biaya juga.

Pemenuhan pembengkakan tersebut akan dinegosiasikan dengan pihak Tiongkok. Tiko mengasumsikan, 75% dari cost overrun tersebut disetujui oleh pemegang saham yaitu PSBI dan Beijing Yawan untuk bisa di-cover dari utang kepada China Development Bank (CDB).

Sisanya, Kementerian BUMN mengusulkan untuk dipenuhi melalui suntikan PMN kepada KAI senilai Rp 4,1 triliun. PMN yang diusulkan tersebut untuk tahun anggaran 2022 mendatang. "Saat ini kami sedang melakukan diskusi mengenai cost overrun. Saya rasa ini bukan untuk (PMN) tahun ini tapi untuk tahun depan," kata Tiko.

Permasalahan ketiga dalam proyek KCJB adalah terdapat potensi defisit kas selama masa operasi kereta cepat tersebut. Untuk itu, Kementerian BUMN tengah melakukan negosiasi dengan pihak Tiongkok agar cash deficiency support ini dapat dipenuhi.

"Kami sedang melakukan diskusi mengenai cash deficit dengan pihak Tiongkok untuk kelangsungan usaha dalam konteks operasional cash flow negatif yang akan terjadi di awal2 operasi," kata Tiko.

Langkah diskusi yang dilakukan berupa pinjaman kepada KCIC dari CDB dengan jaminan oleh KAI. KAI diusulkan mendapatkan jaminan dari pemerintah Indonesia dengan pembentukan sinking fund di KAI sebagai first loss.

Kewajiban untuk memenuhi cash deficiency support di-cover oleh pinjaman dari CDB secara proporsional dengan asumsi telah disetujui oleh pemegang saham KCIC yaitu PSBI dan Beijing Yawan.

Secara umum, Kementerian BUMN sedang mengupayakan agar konsorsium yang menangani proyek KCJB bisa dipimpin oleh KAI. Sehingga, KAI menjadi penanggung jawab atas penyelesaian dan pengoperasian kereta cepat tersebut. "Kami sedang rancang Perpresnya," kata Tiko.

Seperti diketahui, KCJB memiliki rencana panjang jalur mencapai 142,3 km dengan beberapa stasiun seperti halim, Karawang, Padalarang, dan Tegalluar. Proyek ini didanai melalui 25% ekuitas dan 75% dari utang CDB. Terdapat commitment sponsor letter yang dibebankan pada ultimate shareholder dengan porsi kepemilikan ekuitas.

"Pada saat ini progres konstruksi kereta cepat telah mencapai 74% berdasarkan serapan anggaran investasinya," kata Tiko.

Reporter: Ihya Ulum Aldin