PT Bank Negara Indonesia Tbk dengan kode emiten BBNI sudah membuat kesepakatan awal untuk mengakuisisi bank yang akan dijadikan bank digital. Langkah ini untuk menolong usaha kecil dan menengah (UKM) dari jeratan pinjaman online.

"Kami punya visi agar bank digital ini fokus untuk UKM, terutama yang tradisional," kata Direktur Utama BNI Royke Tumilaar dalam webinar pada Senin (22/11). "Banyak UKM saat ini mungkin terjebak dengan pinjol (pinjaman online)."

Royke mengatakan, bank milik pemerintah ini ingin mengakuisisi lembaga keuangan dengan teknologi tinggi tapi dengan biaya yang relatif murah. Bank digital ini akan menjangkau banyak target pasar yang belum terjamah oleh BNI.

Dengan bantuan teknologi di bank digital, biaya operasional BNI bisa murah dan efisien. Karena itu, suku bunga kredit bisa ditekan oleh BNI, tidak seperti suku bunga yang ditetapkan oleh pinjaman online.

"Sehingga akan membantu UKM yang punya potensi untuk tumbuh. Karena mesin pertumbuhan masa depan masih diharapkan dari segmen UKM," kata Royke.

Selain itu, dengan bank digital yang menjamah lebih banyak UKM, inklusi keuangan menjadi cepat tumbuh. Masyarakat yang terlayani oleh perbankan pun akan terus bertumbuh.

Inisiatif digital BNI bukan hanya mengakuisisi bank untuk dijadikan bank digital semata. Secara organik, BNI terus mendigitalisasi proses bisnis bank konvensionalnya melalui mobile banking untuk nasabah ritel dan BNI Direct untuk nasabah wholesale.

BNI juga terus mengembangkan aplikasi pemrograman antarmuka alias application programming interface (API). Hal ini dilakukan agar bisa berkolaborasi dengan banyak ekosistem digital.

"Selain mendigitalkan proses bisnis yang ada, kami percaya memiliki anak usaha bank digital akan membawa BNI ke tingkat layanan perbankan yang lebih tinggi," ujarnya.

Dengan suku bunga yang rendah, Royke memastikan tidak akan mengganggu perolehan laba perusahaan. Dengan suku bunga rendah, dia optimistis bisa meningkatkan penyaluran kredit. Pada 2022, BNI memperkirakan kreditnya tumbuh mendekati dua digit alias mendekati 10%.

"Sebagai perusahaan publik, kami punya target kinerja. Sehingga penurunan bunga kredit tidak mengganggu kinerja yang telah dicanangkan," kata Royke.

Meski begitu, perbankan perlu mewaspadai potensi kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve alias The Fed. Pasalnya, suku bunga The Fed diprediksi naik pada pertengahan tahun depan.

Dengan kenaikan suku bunga The Fed, membuat Bank Indonesia bisa ikut menaikan suku bunga acuannya. Karena suku bunga BI naik, turut berdampak pada biaya dana alias cost of fund industri perbankan.

Agar penyaluran kredit tetap bisa tumbuh, Royke berharap kebijakan relaksasi yang diberikan BI seperti giro wajib minimum (GWM) dan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) bisa diperpanjang. "Agar bisa menekan biaya cost of fund perbankan," katanya.

Royke pun berharap, ada regulasi untuk menjaga level kompetisi yang sehat di industri perbankan. Pasalnya, banyak bank yang menawarkan produk tabungan dengan tingkat suku bunga yang relatif tinggi saat ini.