PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menyiapkan proposal perdamaian kepada kreditur maupun penyewa pesawat (lessor) dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Opsi mekanisme penyelesaian utang yang disiapkan berupa penerbitan surat utang dan saham baru.
"Opsi mekanisme yang didiskusikan antara lain, melalui penerbitan zero coupon bond, surat utang (notes), maupun penerbitan saham baru, yang dalam pelaksanaanya akan tunduk pada ketentuan yang berlaku, termasuk tidak terbatas pada ketentuan pasar modal," demikian tertulis dalam paparan publik yang terlampir di laman Bursa Efek Indonesia (BEI), dikutip Jumat (17/12).
Berdasarkan data perusahaan, total utang Garuda telah mencapai US$ 9,8 miliar atau setara Rp 140,56 triliun (asumsi kurs Rp 14.343/US$). Utang lainnya dalam bentuk obligasi wajib konversi, sukuk, dan KIK EBA tercatat US$ 630 juta. Adapun, pinjaman kepada vendor BUMN US$ 595 juta dan ke vendor swasta US$ 317 juta. Sisanya, liabilitas lain mencapai US$ 751 juta.
Menurut jadwalnya, proposal perdamaian PKPU itu akan didiskusikan dan diputuskan diterima atau ditolak pada 20 Januari 2022. Sebelumnya, perseroan akan mengadakan rapat dengan kreditur untuk memverifikasi pajak dan mencocokkan piutang pada 19 Januari 2022.
Proses PKPU terdekat yang akan dihadapi perseroan adalah rapat kreditur pertama pada 21 Desember 2021. Setelah itu, batas akhir pengajuan tagihan bagi para kreditur berlangsung pada 5 Januari 2022. Sementara itu, sidang permusyawaratan Majelis Hakim Pemutus Perkara 21 Januari 2022
Manajemen Garuda Indonesia menilai proses PKPU yang dilalui perseroan memerlukan waktu yang lama jika dilakukan di luar pengadilan. Pasalnya, jumlah kreditur perseroan lebih dari 800 entitas.
Salah satu penyebab munculnya masalah solvabilitas dan likuiditas perseroan adalah turunnya pendapatan perseroan hingga 70%. Alhasil, margin operasional perseroan ikut terkikis hingga 70%.
Untuk mengurangi biaya operasional, emiten industri penerbangan berkode GIAA ini menghentikan sebagian operasi maskapainya. Beban usaha perseroan tercatat turun tipis 0,23% per kuartal III-2021 dari US$ 601,7 juta menjadi US$ 600,3 juta.
Selain itu, Cost of Available Seat Kilometer (CSAK) susut 3,03% dari capaian Juli-September 2020 senilai US$ 6,6 juta menjadi US$ 6,4 juta. CSAK adalah biaya untuk mengukur biaya yang harus dikeluarkan per kursi dalam pesawat.
Perseroan juga mulai mencatatkan perbaikan per Oktober 2021, namun masih belum dapat menutup biaya tetap perseroan. Alhasil, ekuitas perseroan masih tercatat negatif hingga US$ 3 miliar karena penyusutan pendapatan lebih besar dibandingkan penurunan biaya.
Sebelumnya, Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra mengatakan, dengan status PKPU ini bukan berarti maskapai tersebut pailit. Bahkan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut diuntungkan karena mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dengan seluruh kreditur melalui pengadilan.
"Proses ini memberikan ruang bagi Garuda untuk bernegosiasi dengan kreditur dalam koridor hukum," katanya dalam jumpa pers secara virtual usai Garuda berstatus PKPU, Kamis (9/12).
Kementerian BUMN memang mendorong Garuda menyelesaikan perkara utang melalui jalur PKPU karena punya keuntungan, meski berisiko pailit. Keuntungannya, apapun keputusan pengadilan, hasilnya mengikat seluruh kreditur meski ada sebagian kecil yang tidak setuju.
Negosiasi ini bisa memberi Garuda kemampuan menyudahi atau menegosiasi ulang perjanjian sewa yang memberatkan. "Harapannya bisa mengakhiri dan negosiasi ulang seluruh perjanjian," kata Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam rapat dengar pendapat dengan anggota Komisi VI DPR, Selasa (9/11).