Penyelidikan Dugaan Korupsi Garuda Tingkatkan Kepercayaan Kreditur

Garuda.indonesia.com
Pesawat Garuda jenis Boeing 737 Max
Penulis: Lavinda
14/1/2022, 17.04 WIB

Upaya penyelidikan dugaan korupsi pengadaan pesawat ATR 72-600 pada PT Garuda Indonesia Tbk dianggap bisa menjadi meningkatkan kepercayaan kreditur, sehingga mempercepat penyelesaian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) maskapai pelat merah tersebut.

Pengamat Penerbangan Alvin Lie mengatakan upaya penyelidikan dugaan korupsi Garuda oleh Kejaksaan Agung ini merupakan memontum yang baik untuk membersihkan kinerja perusahaan di masa mendatang. Dengan demikian, kreditur akan memiliki perspektif positif untuk menyepakati restrukturisasi utang dan melanjutkan kerja sama.

"Ketika PKPU selesai, Garuda juga sudah bersih, tidak terulang seperti dulu. Bagi kreditur, ini menunjukkan komitmen bahwa saat PKPU beres, Garuda akan jadi perusahaan yang lebih profesional," ujar Alvin kepada Katadata, Jumat (14/1).

Menurut dia, aksi Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir melaporkan dugaan korupsi Garuda kepada Kejaksaan Agung merupakan bagian dari komitmennya di hadapan wakil rakyat untuk memperbaiki pengelolaan bisnis perusahaan pelat merah. 

Sebelumnya diketahui, Garuda Indonesia mengajukan proposal restrukturisasi utang kepada seluruh kreditur. Dalam perkembangannya, sebagian besar kreditur sepakat, namun ada beberapa penyewa pesawat atau lessor yang masih belum sepakat.

Menurut Alvin, laporan Erick Thohir terkait dugaan korupsi pengadaan pesawat yang melibatkan lessor tak dilakukan untuk menekan lessor supaya sepakat dengan proposal restrukturisasi.

"Terlalu jauh kalau dikaitkan antara PKPU dan dugaan korupsi. dalam proses PKPU tidak mungkin semua setuju atau semua tidak setuju. Kreditur garuda jumlahnya ratusan, wajar saja beda pendapat," katanya.

Dalam prosesnya, Alvin berpendapat, proses restrukturisasi utang mendapat sambutan yang baik dari para kreditur. Pasalnya, kreditur akan lebih diuntungkan jika sepakat dengan proposal restrukturisasi, ketimbang harus melihat Garuda berakhir pailit.  

"Kalau Garuda sampai pailit, pengembalian dana Kreditur malah jauh lebih kecil dibanding kalau sepakat restrukturisasi, dan melanjutkan kerja sama di masa depan," ujarnya.

Sebagai BUMN yang merupakan aset negara, jika Garuda pailit, maka proses penyelesaian utang piutang, likuidasi dan pertanggungjawabannya akan membutuhkan waktu panjang. Hal ini tak terlepas dari dinamika politik yang terjadi.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung tengah melakukan komunikasi dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) terkait dugaan korupsi pengadaan pesawat ATR 72-600 pada PT Garuda Indonesia Tbk.

KPK pernah mengungkap dugaan korupsi tersebut saat persidangan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar dalam kasus korupsi pengadaan pesawat dan mesin dari Airbus dan Rolls-Royce.

Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Supardi mengatakan, pihaknya telah secara formal mengirimkan surat ke KPK. Kejaksaan meminta tambahan informasi data yang diperlukan terkait putusan inkrah Emirsyah Satar.

Emirsyah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat sejak Februari 2021.

"Saya sudah komunikasi melalui telepon dan whatsapp. Mudah-mudahan besok atau lusa sudah dapat sesuatu," ujar Supardi saat ditemui Katadata di Gedung Bundar Kejaksaan Agung pada Rabu (12/1) malam.

Kejaksaan juga tengah meminta perhitungan kerugian negara atas kasus dugaan korupsi yang dilaporkan Menteri BUMN Erick Thohir ini dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Supardi menyebut sudah menerima hasil perhitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diberikan oleh Erick, tetapi masih enggan menjelaskan laporan tersebut.

Ia mengatakan, kejaksaan juga telah memeriksa dua saksi dari pihak Garuda dari tim pengadaan pesawat. Data-data terkait saat ini telah dipegang kejaksaan.

Berdasarkan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) periode 2009-2014, Garuda berencana menambah 64 pesawat yang dilakukan dengan skema pembelian (financial lease) dan sewa (operation lease buy back) melalui penyewa pesawat atau lessor.

Adapun realisasinya, terdiri dari 50 unit pesawat jenis ATR 72-600 dan 18 jenis CRJ 1000. Pesawat jenis ATR dipenuhi melalui penyewaan sebanyak 45 unit dan pembelian 5 unit, sedangkan pesawat jenis CRJ dipenuhi melalui penyewaan 12 unit dan pembelian 6 unit.

Dalam pengadaan pesawat tersebut, Garuda menggunakan perjanjian penyewaan pesawat atau lessor agreement sebagai sumber dana. Sesuai perjanjian, pihak ketiga akan menyediakan dana yang nantinya akan dibayar oleh Garuda secara bertahap dengan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi.

"Bahwa atas pengadaan/sewa pesawat tersebut diduga telah terjadi peristwa pidana yang menimbulkan kerugian keuangan negara dan menguntung pihak lessor," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjutak.

Adapun Emirsyah saat ini menjalani kurungan di Lapas Sukamiskin setelah kasus korupsi pengadaan pesawat dan mesin dari Airbus dan Rolls-Royce telah berkekuatan hukum tetap.

Pengadilan tingkat kasasi menguatkan putusan pengadilan sebelumnya yang memvonis Emirsyah dengan hukuman penjara delapan tahun. Bahkan, dalam putusan tingkat kasasi dia diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar subsidair 3 bulan kurungan.

Emirsyah terbukti menerima suap Rp 49,3 miliar dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sekitar Rp 87,464 miliar. Dia diseret ke pengadilan pada akhir 2019 berkat penyidikan KPK.

Penuntut umum KPK saat persidangan menyebut, suap bukan hanya diberikan untuk pengadaan Rolls-Royce dab Airbus, tetapi juga pengadaan pesawat Bombardier CRJ1000 dan ATR 72-600.

Khusus dalam pengadaan pesawat ATR 72-600, terungkap di pengadilan Emirsyah menerima uang senilai Sin$ 1.181.763,00 dari Soetikno untuk melunasi tagihan apartemen. Kemudian berupa Sing$ 6.470 dan Sin$ 975 dalam rangka penutupan rekening atas nama Woodlake Internasional di UBS Singapura.