Target harga saham PT Jasa Marga Tbk (JSMR) direvisi turun dari Rp 5.400 menjadi Rp 5.000 per saham dengan rekomendasi dipertahankan beli.

Analis RHB Sekuritas Indonesia Andrey Wijaya dan Ryan Santoso mengatakan, faktornya datang dari transisi menuju endemi yang memicu beban operasional perseroan meningkat.

Revisi turun target harga tersebut juga menggambarkan peningkatan beban bunga, seiring dengan peningkatan BI7DRR yang telah mencapai 225 bps.

Revisi turun target harga saham Jasa Marga juga menggambarkan keputusan RHB Sekuritas Indonesia untuk menurunkan proyeksi laba bersih Jasa Marga tahun ini dari Rp 2,9 triliun menjadi Rp 2,17 triliun.

“Kami menurunkan asumsi laba tahun 2023-24 sebesar 25,1% dan 17,9% seiring dengan kenaikan beban bunga dan opex. Serta menurunkan asumsi marjin laba kotor akibat kenaikan beban pegawai dan perawatan jalan tol. Tetapi kami hanya menurunkan asumsi EBITDA sebesar 6,0% dan 4,9% di 2023-2024. Meski demikian ada potensi kenaikan dari rencana divestasi JTT jika terealisasi tahun ini,” ujarnya dalam risetnya dikutip Jumat (24/2).

Sedangkan perkiraan pendapatan direivisi turun dari semula Rp 15,86 triliun menjadi Rp 15,77 triliun. Dengan transisi ke endemik berdampak pada kenaikan mobilitas, JSMR berencana menaikkan tarif 10 ruas jalan tolnya di tahun ini. Di mana itu berpotensi menaikkan 10% pendapatan JSMR.

“Kami melihat potensi kenaikan dari rencana divestasi Jalan Tol Trans Jawa yang diperkirakan akan selesai dengan valuasi yang menarik, diatas 2 kali price to book value,” katanya.

Tahun ini JSMR berencana mengoperasikan dua ruas tol baru (Japek Selatan dan Cinere-Serpong). JSMR juga menaikkan tarif ruas Pandaan-Malang dan Semarang ABC, dengan tambahan 10 ruas tol lainnya akan dinaikkan di semester II 2023.

Adapun penundaan pembangunan tol Gedebage-Tasik-Cilacap (Getaci), seiring dengan mundurnya PT Waskita Karya Tbk dari konsorsium dinilai positif bagi JSMR karena akan menunda pengeluaran capex ditengah tingginya tingkat suku bunga. Total investasi to Getaci diperkirakan mencapai Rp 56 triliun, dimana JSMR pemegang porsi terbesar yakni 32,5% kepemilikan.

“Ada resiko capex yang lebih tinggi ditengah kenaikan tingkat suku bunga,” katanya.