PT MNC Energy Investments Tbk (IATA) akan menerbitkan surat utang senilai total Rp 750 miliar. Penerbitan surat utang ini terdiri dari Obligasi Berkelanjutan I MNC Energy Investments Tahap I Tahun 2023 senilai Rp 500 miliar dan Sukuk Wakalah Berkelanjutan I MNC Energy Investments Tahap I Tahun 2023 Rp 250 miliar.

Penerbitan obligasi ini sebagai bagian dari program Penawaran Umum Berkelanjutan Obligasi Berkelanjutan I MNC Energy Investments yang menargetkan penghimpunan dana segar hingga Rp 1 triliun.

Obligasi yang dirilis emiten investasi bidang energi Grup MNC ini terdiri dari tiga seri.

Seri A dengan jumlah pokok obligasi Rp 250 miliar dengan tenor 370 hari dan tingkat bunga tetap sebesar 10,75% per tahun. Seri B sebesar Rp 149,82 miliar dengan tenor tiga tahun dan tingkat bunga tetap 11,25%. Lalu Seri C Rp 100,175 miliar dengan tenor lima tahun dengan tingkat bunga tetap sebesar 11,50%.

Pembayaran bunga pertama obligasi akan dilakukan pada 6 Januari 2024. Sedangkan pembayaran bunga terakhir sekaligus jatuh tempo pada 16 Oktober 2024 untuk Seri A, 6 Oktober 2026 untuk Seri B, dan 6 Oktober 2028 untuk Seri C.

Sementara untuk Sukuk Wakalah Berkelanjutan I juga akan diterbitkan dalam tiga seri. Seri A senilai Rp 100 miliar dengan tenor 370 hari dan imbal hasil wakalah sebesar Rp10,75 miliar atau ekuivalen sebesar 10,75%.

Lalu Seri B Rp 49,3 miliar dengan tenor tiga tahun dan imbal hasil Rp 5,54 miliar atau ekuivalen 11,25% per tahun. Kemudian Seri C sebesar Rp 100,7 miliar dengan tenor lima tahun dan imbal hasil Rp 11,58 miliar atau ekuivalen 11,50%.

Imbal hasil sukuk wakalah akan dibayarkan setiap triwulan, sesuai dengan tanggal pembayaran imbal hasil wakalah sukuk wakalah. Pembayaran imbal hasil pertama akan dilakukan Januari 2024, sedangkan pembayaran imbal hasil terakhir dilakukan saat jatuh tempo yaitu 16 Oktober 2024 untuk Seri A, 6 Oktober 2026 untuk Seri B, dan 6 Oktober 2028 untuk Seri C.

Bertindak sebagai wali amanat dalam surat utang ini adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan penjamin pelaksana emisi efek PT MNC Sekuritas.

Dalam keterangan resmi sebelumnya disebutkan bahwa dana yang diperoleh dari hasil obligasi dan sukuk wakalah ini akan digunakan sebagai modal kerja untuk melakukan perdagangan batu bara dan pembayaran fasilitas pinjaman. Serta pemberian pinjaman kepada PT Bhakti Coal Resources untuk mempercepat pengembangan usaha entitas anak di sektor pertambangan batu bara.

Obligasi dan sukuk wakalah ini tidak dijamin dengan jaminan khusus, berupa benda atau pendapatan atau aktiva lain milik perseroan dalam bentuk apapun. Serta tidak dijamin oleh pihak manapun.

Penerbitan dua skema permodalan ini memperoleh hasil pemeringkatan idA- (Single A Minus) dan idA-(sy) (Single A Minus Syariah) dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo).

“Walaupun dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti kenaikan harga bahan bakar, tarif royalti, serta biaya operasional lainnya, perseroan optimis bisnis batubara masih berpeluang untuk tumbuh positif pada semester kedua tahun 2023 ini,” tulis manajemen IATA.

IATA mengelola delapan IUP-Operasi Produksi di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dan secara aktif menggenjot hasil produksi untuk memenuhi permintaan batubara yang tinggi, serta terus melakukan eksplorasi untuk mencari tambahan cadangan terbukti. Pada 2024, perseroan berencana untuk memulai produksi dari IUP PT Arthaco Prima Energy (APE), yang akan memberi kontribusi signifikan bagi pertumbuhan bisnis IATA.

Berdasarkan laporan Komite Cadangan Mineral Indonesia, saat ini IATA memiliki cadangan batu bara sebanyak 386,6 juta MT. Total tersebut diperoleh dari hanya sekitar 20% luas area penambangan perseroan sebesar 72.478 Ha. IATA meyakini cadangan batubara akan terus bertambah seiring dengan proses eksplorasi menunjukkan tambahan cadangan terbukti, setidaknya sebanyak 600 juta MT untuk semua IUP.

Terkait kinerja keuangan, IATA membukukan laba bersih US$ 22,26 juta di semester pertama 2023, turun dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 26,31 juta. Penyusutan laba bersih ini terjadi di tengah kenaikan pendapatan sebesar 20% menjadi US$ 100,5 juta.

Reporter: Nur Hana Putri Nabila