PT Mineral Global Abadi Tbk (SMGA) resmi mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa (30/1). Perusahaan menjadi emiten kesembilan di bursa pada tahun ini.
Pada debut perdananya, saham SMGA melesat 34,29% hingga auto reject atas (ARA)% ke level Rp 141 per lembar pada pukul 09.10. Volume saham yang diperdagangkan tercatat 93,36 juta dengan nilai transaksinya Rp 13,12 miliar. Sementara frekuensi perdagangannya tercatat sebanyak 5.069 kali. Adapun kapitalisasi pasar Sumber Mineral Global Abadi senilai Rp 1,23 triliun.
Dalam penawaran umum perdana saham atau initial public offering/IPO, perseroan melepas sebanyak 1,75 miliar saham baru yang mewakili 20% dari modal ditempatkan. Harga saham yang ditawarkan saat IPO adalah Rp 105. Dengan jumlah itu perusahaan diperkiraan meraup dana segar hingga Rp 183,7 miliar.
Direktur Utama SMGA Julius Edy Wibowo menyampaikan setelah mencatatkan sahamnya di BEI, perusahaan akan mengakuisisi tambang nikel di Morowali Utara, Sulawesi Selatan. Besaran nilai tersebut belum dapat disampaikan, tetapi Julius menyebut akan selesai di kuartal II 2024 dengan menggunakan dana operasional SMGA.
Ia juga mengatakan target pendapatan tahun ini diharapkan mencapai Rp 1 triliun pendapatan atau naik tiga kali lipat. Kenaikan itu ditopang dari dari peningkatan volume penjualan lebih tinggi sebab SMGA punya anchor supplier, anchor user, dan anchor customer.
“Kepercayaan dari smelter di Indonesia lebih besar kepada kami karena kita menjadi perusahaan Tbk,” katanya kepada wartawan di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta pada Selasa (30/1).
Melansir prospektus di laman e-IPO, Selasa (30/1), dana hasil IPO saham yang akan diterima oleh perseroan, setelah dikurangi biaya-biaya emisi yang berhubungan dengan penawaran umum, seluruhnya akan digunakan untuk modal kerja.
Tepatnya dalam rangka pengadaan nikel dan batu bara sesuai kegiatan bisnis yang dijalankan perseroan sebagai pembayaran atas pembelian nikel dan batu bara dari supplier. Hal itu guna memenuhi kontrak pengadaan dengan pihak-pihak. Di sisi lain harga nikel kian merosot dan mendekati level terendah sejak tahun 2021.
Apalagi baterai lithium ferroposphate (LFP) kini semakin menjadi pilihan produsen mobil listrik sebagai alternatif baterai yang diklaim lebih murah dibandingkan nikel. Julius mengatakan bahwa dana hasil IPO akan dipakai untuk modal kerja terkait pengadaan nikel dan batu bara.
“Prospek komoditas nikel masih cerah. Hal ini diperkuat dengan adanya temuan Badan Energi Internasional (The International Energy Agency/IEA) yang memperkirakan permintaan nikel dunia akan terus bertumbuh," katanya dalam keterangan resmi, Jumat (19/1).
Ia menegaskan, permintaan nikel diproyeksikan meningkat menjadi 6.250 kiloton (KT) pada 2040 dibandingkan pada 2020 yang sebanyak 2.340 KT. Kenaikan permintaan nikel terutama akan didorong oleh peningkatan kebutuhan dari industri kendaraan listrik dan baterai.
“Kebutuhan dunia terhadap industri nikel sangat besar, tidak hanya untuk baterai kendaraan listrik (EV), tetapi juga untuk segala macam baterai,” jelas Julius.