Penghasilan Warga Terancam Hilang hingga Rp 72 T jika Jakarta Lockdown

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nz
Foto aerial kendaraan melintas di kawasan Semanggi, Jakarta, Jumat (27/3). Sejumlah ruas jalan utama ibu kota lebih lengang dibandingkan hari biasa karena sebagian perusahaan telah menerapkan bekerja dari rumah guna menekan penyebaran virus Corona.
Penulis: Rizky Alika
Editor: Agustiyanti
30/3/2020, 14.19 WIB

Pemerintah belum memutuskan apakah bakal memberlakukan karantina wilayah secara total atau lockdown di DKI Jakarta untuk menekan penyebaran virus corona yang kian cepat. Namun, Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia menghitung lockdown secara total di Ibu Kota berpotensi menimbulkan kehilangan penghasilan bagi seluruh warganya mencapai Rp 72 triliun. 

Wakil Direktur SIL UI Tri Edhi Budhi Soesilo menjelaskan, pihaknya membuat simulasi hitungan dampak ekonomi terhadap tiga skema kebijakan pemerintah. Ketiganya, yaitu bisnis seperti biasa atau interaksi masyarakat tidak ada pembatasan, partial lockdown atau 70% interaksi masyarakat dibatasi, dan total lockdown atau 100% aktivitas dihentikan. 

Pihaknya menghitung dampak setiap skema kebijakan tersebut kepada sektor ekonomi, baik pariwisata dan jasa, perdagangan, industri, dan transportasi. Simulasi tersebut juga menghitung kerugian biaya pengobatan dan kehilangan penghasilan warganya yang dapat timbul selama 240 hari sejak 1 Februari 2020.

"Bila menerapkan totally lockdown, kerugian biaya pengobatan bisa ditekan karena tidak ada kasus covid-19. Namun kerugian kehilangan penghasilan tinggi hingga Rp 72 triliun," kata dia dalam seminar online, akhir pekan lalu (27/3).

(Baca: Melihat Praktik Lockdown Corona di Tegal dan Wilayah Lain di Dunia)

Kerugian kehilangan penghasilan tersebut terjadi pada hari ke-240 jika lockdown total diberlakukan sejak awal Februari. Kasus Covid-19 diasumsikan sebenarnya sudah masuk Indonesia pada awal bulan lalu.

Secara terperinci, ia memperhitungkan kerugian ekonomi secara sektoral tidak mengalami perbedaan, baik saat pemerintah menerapkan bisnis seperti biasa, partial lockdown, maupun lockdown total. Ia mencatat, kerugian ekonomi sektoral pada hari ke-220 akan mencapai Rp 8,25 triliun, sedangkan pada hari ke-240 mencapai Rp 9 triliun.

Sementara, kerugian pengobatan yang terjadi jika dilakukan totally lockdown dapat ditekan drastis di hari ke-240 karena kasus baru akan hampir nihil. 

Di sisi lain, kerugian kehilangan penghasilan, baik saat melakukan partial lockdown dan totally lockdown sama-sama cukup besar. Pada hari ke-220, kerugian kehilangan penghasilan mencapai Rp 66 triliun, sedangkan pada hari ke-240 sebesar Rp 72 triliun.

Adapun jika menerapkan partial lockdown, kerugian pengobatan pada hari ke-220 mencapai Rp 205,86 triliun, kemudian mencapai Rp 234,20 triliun pada hari ke-240.

(Baca: Empat Klaster Sebaran Corona di Jawa Barat)

Sebaliknya, bila pemerintah menerapkan bisnis seperti biasa, kerugian pengobatan akan mencapai Rp 285,78 triliun pada hari ke-220 dan mencapai Rp 311,76 triliun pada hari ke-240. Meski begitu, skema ini tidak akan menimbulkan kerugian akibat kehilangan penghasilan.

"Namun demikian, model ini belum final," ungkap dia. 

Meski demikian, ia mengingatkan, pemerintah harus siap dengan pilihan untuk menyelamatkan warga DKI Jakarta dari kematian atau dari kerugian ekonomi akibat adanya virus corona. Kebijakan yang diambil akan menimbulkan dampak sosial bagi masyarakat.

Selain itu, kebijakan pemerintah dinilai harus dilakukan tepat pada waktunya. "Ini bagai buah simalakama. Kalau terlambat atau tidak membuat kebijakan, ada risikonya. Kalau mengambil sebuah kebijakan, ada risikonya juga," ujar dia.

Ia juga mengkhawatirkan dampak dari kebijakan lockdown dapat meningkatkan kematian selain karena virus corona, tetapi juga kelaparan. Oleh karena itu, perlu ada jaminan kebutuhan sehari-hari dapat terpenuhi bila melakukan lockdown.

(Baca: Video: Pesan Lawan Corona Dari Para Dokter untuk Aman di Rumah)

Tentang Simulasi Corona SIL UI

Simulasi dilakukan dengan menggunakan model systems thinking. Data yang digunakan berasal dari situs resmi corona.jakarta.go.id dari 1-25 Maret 2020.

Simulasi tersebut diakui ada perbedaan dengan ahli lainnya lantaran angka infeksi per kontak belum ditemukan secara pasti, belum diperoleh fraksi kontak normal secara pasti, serta belum diperoleh data akurat berapa lama penderita covid-19 menjalani perawatan sampai dengan sembuh atau meninggal.

Oleh karena itu, model tersebut memakai angka rujukan berdasarkan kasus epidemi lain yang penyebabnya merupakan virus satu kelompok dengan covid-19.

Penelitian tersebut juga telah memperhitungkan fenomena iceberg, yaitu mengkalkulasi potensi kasus yang tidak terlaporkan lantaran ada keterbatasan pemerintah dan kemampuan rakyat dalam melaporkan kasus corona. Oleh karena itu, data dinilai masih jauh dari angka yang sebenarnya.

Reporter: Rizky Alika