Bank Indonesia (BI) mengaku belum mengintervensi rupiah sejak awal tahun ini. BI ingin rupiah terus menguat sesuai kondisi pasar.
Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah di pasar spot Rp 13.680 per dolar Amerika Serikat (AS). Artinya, rupiah menguat 1,53% dibandingkan posisi pada awal tahun ini di level Rp 13.893 per dolar AS.
"Kami punya perhitungan. Tentunya sepanjang (penguatan) ini sesuai nilai fundamental, kami membiarkan rupiah menguat," kata Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo di Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Senin (3/1).
Menurut Dody, penguatan rupiah saat ini sesuai dengan kekuatan pasar atau nilai fundamentalnya. Ia menilai, pergerakan rupiah didukung data-data ekonomi makro yang positif seperti Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi, dan survei konsumen.
Di sisi lain, cadangan devisa Indonesia terus menguat. Pada akhir Desember 2019, nilainya mencapai US$ 129,2 miliar atau naik dibanding bulan sebelumnya yang sebesar US$ 126,6 miliar.
"Itu faktor yang membuat rupiah cukup confident," ujar Dody. (Baca: BI: Dampak Konflik AS-Iran Tak Signifikan, Rupiah Terus Menguat)
Deputi Gubernur Senior BI Destry Damayanti mengatakan, penguatan rupiah tersebut murni karena pasar. "Karena eksportir jual (rupiah)," kata dia. Karena itu, ia sepakat bahwa penguatan rupiah didukung oleh perekonomian Indonesia yang membaik.
Meski belum mengintervensi, ia menegaskan bahwa BI menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan akan selalu ada di pasar. Hal ini guna memastikan penguatan rupiah wajar.
Ia juga menyampaikan, BI berkomitmen untuk melakukan intervensi tiga arah (triple intervention) yakni di pasar spot, pasar obligasi, dan pasar domestic non-deliverable forward (DNDF).
(Baca: BI Pantau Aliran Modal Masuk Awal Tahun Rp 10 Triliun, Terbesar ke SBN)
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo menilai, dampak konflik Iran dan Amerika Serikat tak signifikan terhadap rupiah. Nilai tukar rupiah di pasar spot pun menguat 0,59% menjadi Rp 13.775 per dolar AS pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu (10/1).
Selain itu, menurut dia konflik Iran dan AS tak berdampak terhadap fundamental makro ekonomi dalam negeri. Efek dari perselisihan itu bersifat jangka pendek. Buktinya, premi risiko investasi Indonesia masih rendah, yakni 60,13 basis poin.
Perry menilai, rupiah yang terapresiasi disebabkan oleh kesepakatan dagang fase satu antara AS dan Tiongkok semakin dekat, yaitu pada 15 Januari nanti. “Ini juga akan memberi peluang peningkatan ekspor dan sentimen positif kepada aset berisiko," ujar dia, akhir pekan lalu (10/1).
(Baca: Rupiah Perkasa Terangkat Kepastian Damai Dagang Tahap I AS-Tiongkok)