Indef Proyeksikan Pertumbuhan Ekonomi Tahun Depan Cuma 4,8%

ANTARA FOTO/Galih Pradipta
INDEF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 hanya tumbuh 4,8%.
Penulis: Hari Widowati
26/11/2019, 17.40 WIB

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 hanya akan mencapai 4,8%. Angka ini lebih rendah dibandingkan target pemerintah sebesar 5,3%. Ancaman resesi global dan perang dagang yang tak berkesudahan menjadi beberapa penyebabnya.

Direktur Program INDEF Berly Martawardaya mengatakan, Indonesia tidak bisa menikmati pertumbuhan ekonomi di atas 5% seperti pada 2018. INDEF melihat hal ini disebabkan oleh kinerja ekspor yang menurun dan transmisi investasi yang tidak sederas sepuluh tahun lalu.

"Biasanya ada kenaikan investasi setelah Pemilu, tetapi karena masalah perang dagang dan geopolitik, sepertinya akan sulit buat kita alami di tahun depan," kata Berly dalam Seminar Nasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2020 "Kabinet Baru dan Ancaman Resesi Ekonomi" di Jakarta, Selasa (26/11).

Dari sisi global, perekonomian beberapa negara menunjukkan gejala resesi. Penyebab utamanya adalah perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang tidak berkesudahan. Direktur Program INDEF, Esther Sri Astuti, menjelaskan bahwa perang dagang ini memiliki tiga turunan lain yang memengaruhi Asia, yaitu perang teknologi berupa pemblokiran di bidang teknologi dan komunikasi, perang mata uang yang dilakukan untuk menurunkan nilai mata uang agar harga komoditas lebih kompetitif, dan perang investasi di mana suatu negara mengurangi atau memindahkan investasinya ke negara lain.

Penyebab lainnya adalah pergerakan harga komoditas seperti minyak kelapa sawit (CPO) dan minyak mentah yang berfluktuasi dengan cepat. Selain itu, ada penurunan suku bunga The Fed sebanyak tiga kali yang menyebabkan aliran modal jangka pendek (hot money) masuk ke pasar negara-negara berkembang dan suhu politik AS yang memanas dengan adanya pemakzulan (impeachment) terhadap Presiden Donald Trump.

Bukan hanya Indonesia yang mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan proyeksi INDEF, pertumbuhan ekonomi AS hingga 2021 terus menurun, yaitu 2,32% pada 2019, kemudian menjadi 2% pada 2020, dan akhirnya 1,98% pada 2021. Hal yang sama juga terjadi pada Tiongkok dari 6,16% pada 2019 menjadi 5,73% pada 2020 dan 5,5% pada 2021. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Uni Eropa diperkirakan stabil di kisaran 1,1%-1,2%.

(Baca: Waspadai Perlambatan Ekonomi Global)

Konsumsi Domestik dan Investasi Melemah

Dari sisi domestik, INDEF menyebut Indonesia harus bergulat dengan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di kisaran 5%. Selama ini 56% dari pertumbuhan Indonesia ditopang oleh konsumsi rumah tangga karena peran sektor investasi dan perdagangan global masih belum dominan. Selain itu, Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) belum optimal membantu nilai Produk Domestik Bruto (PDB), karena kontribusinya hanya 32%.

INDEF menilai, rumitnya perizinan investasi mengurangi minat investor asing untuk berinvestasi ke Indonesia. Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengatakan, penyerapan tenaga kerja dari investasi yang masuk juga tidak maksimal. Hal ini mengacu pada rencana pemerintah untuk mengumpulkan investasi pada industri pionir sebesar Rp 500 triliun dengan insentif berupa libur pajak (tax holiday).

“Investasi masuk, tapi tidak menumbuhkan tenaga kerja malah ke sektor tersier, perdagangan, dan sektor telekomunikasi. Meskipun sudah ada insentif padat karya untuk mereka tapi tidak menarik,” kata Tauhid.

Defisit neraca transaksi berjalan diperkirakan masih terus terjadi hingga tahun depan. Tauhid mengatakan, persoalan impor minyak dan gas (migas) di Indonesia belum ditangani dengan baik. Konsumsi migas yang besar menjadi masalah bagi neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan.

Masalah lainnya muncul dari Tiongkok yang ingin beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan (green energy). Padahal, selama ini Tiongkok merupakan mitra perdagangan terbesar bagi Indonesia di sektor migas dan pertambangan.

(Baca: Tangkal Dampak Resesi Global, Kadin Ungkap Sejumlah Rekomendasi )

Berharap pada Omnibus Law

Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Iskandar Simorangkir, optimistis pemerintah dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,3% pada tahun depan.

“Kalau omnibus law selesai, (pertumbuhan) bahkan bisa lebih tinggi dari 5,3%" ujarnya. Ketegangan antara AS dan Tiongkok juga diperkirakan mulai mereda karena sudah ada titik temu. Dalam paparannya, Iskandar menjelaskan ada 70 undang-undang yang diidentifikasi oleh pemerintah dan akan disederhanakan dengan omnibus law. Hal ini diyakini akan meningkatkan iklim investasi, mendorong daya saing usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta menciptakan lapangan kerja.

(Baca: Ekonom Sebut Dunia Usaha Harus Waspadai Ketidakjelasan Aturan di 2020)

Pemerintah juga optimistis Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen kebijakan fiskal dapat mendukung ekonomi indonesia melalui fungsi stabilitas, distribusi, dan alokasi. Ketiga fungsi ini dapat menjaga konsumsi sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, meningkatkan daya saing sumber daya manusia, dan melakukan reformasi struktural pada badan-badan pemerintahan. Iskandar juga berharap pada sektor konsumsi sebagai motor pertumbuhan ekonomi Indonesia, didukung oleh sektor pertambangan sebagai sektor usaha yang memiliki prospek yang paling tinggi.

Penulis: Amelia Yesidora (Magang)