Neraca Dagang Surplus, KEIN Peringatkan Berlanjutnya Penurunan Ekspor

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Suasana kegiatan ekspor impor di kawasan Tanjung Priok,  Jakarta Utara (28/6). KEIN menyatakan bahwa Indonesia tidak boleh merasa puas dengan surplus neraca perdagangan sebesar US$ 85 juta pada Agustus. Pasalnya surplus itu terjadi bukan karena peningkatan ekspor, melainkan impor yang turun.
Penulis: Rizky Alika
17/9/2019, 06.48 WIB

Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menyatakan pemerintah tidak boleh merasa puas dengan catatan surplus neraca perdagangan pada Agustus 2019 sebesar US$ 85 juta. Pasalnya, surplus tersebut dicapai bukan karena kinerja ekspor yang membaik.

"Pemerintah tidak boleh lengah dengan data surplus yang terjadi pada Agustus ini. Surplus terjadi karena impor (Agustus 2019) yang lebih rendah dari Juli 2019," kata Wakil Ketua Kein Arif Budimanta seperti dari keterangannya, Senin (16/9).

Dia menilai pemerintah masih harus menutupi defisit yang sempat mencapai titik terparah sepanjang sejarah, yaitu US$ 2,5 miliar pada April lalu. Selain itu kinerja neraca dagang masih dibebani defisit sektor nonmigas, yang terutama didorong oleh tingginya impor non migas dari Tiongkok.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor nommigas Tiongkok pada Agustus 2019 mencapai sebesar US$ 3,74 miliar. Sedangkan, ekspor nonmigas Indonesia ke sana hanya sebesar US$ 2,27 miliar.

(Baca: Ekspor-Impor Indonesia ke Tiongkok dan AS Turun Dampak Perang Dagang)

Kondisi itu meneruskan tren defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Tiongkok yang semakin lebar, yakni dari US$ 14,16 miliar pada 2017 menjadi US$ 20,84 miliar pada 2019.

Menurut Arif, Indonesia seharusnya bisa memanfaatkan perang dagang yang terjadi antara Tiongkok dan Amerika Serikat (AS). "Ini seharusnya menjadi peluang pasar ekspor Indonesia. Terlebih lagi, pasar Tiongkok lebih besar dari pada jumlah penduduk Indonesia," ujar dia.

Guna memperbaiki kinerja neraca dagang, pemerintah harus menekan defisit neraca dagang nonmigas dengan Tiongkok. Sebab sepanjang Januari-Agustus, defisit neraca dagang Indonesia-Tiongkok mencapai US$ 12,5 miliar, atau naik 2,85 dibandingkan tahun lalu pada periode yang sama.

Arif memaparkan ada beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk memperbaiki defisit neraca dagang dengan Tiongkok. Pertama, optimalisasi penggunaan hambatan non-tarif dalam ASEAN China Free Trade Area (ACFTA) untuk meningkatkan ekspor.

(Baca: Ekspor-Impor Lesu, Neraca Dagang Agustus Cetak Surplus US$ 85 Juta)

Dua, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) serta melengkapi produk-produk eskpor tersebut dengan bahasa Tiongkok sehingga memudahkan proses ekspor. Tiga, penerapan sertifikasi halal bagi produk ekspor.

Tidak hanya itu, dia mengatakan bahwa pemerintah harus memastikan seluruh transaksi dalam e-commerce dari negara mitra dagang adalah legal. Keseluruhan hal tersebut perlu dilakukan dengan adanya ACFTA.

Di sisi lain, neraca perdagangan non migas Indonesia dengan AS sepanjang Januari-Juli 2019 menunjukkan perbaikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Ekspor non migas ke AS tercatat naik 9,85%. Arif menyebutkan, kinerja positif neraca perdagangan dengan Negeri Adidaya tersebut harus ditingkatkan. 

Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini  mengatakan bahwa Indonesia harus meningkatkan ekspor di tengah tantangan perang dagang, caranya yaitu dengan mencari mitra dagang baru hingga komoditas ekspor baru.

"Pemerintah juga perlu memetakan komoditas yang sulit bersaing di pasar global. Kemudian strategi baru juga diperlukan," ujar dia.

(Baca: Neraca Dagang Surplus Tipis, Rupiah Menguat ke 14.042 per Dolar AS)

Reporter: Rizky Alika