Ekspor-Impor Indonesia ke Tiongkok dan AS Turun Dampak Perang Dagang

Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA
Ilustrasi kegiatan ekspor impor di kawasan Tanjung Priok,  Jakarta Utara. Akibat perang dagang, nilai ekspor-impor Indonesia ke dua negara yang bertikai tersebut mengalami penurunan.
16/9/2019, 16.41 WIB

Perang dagang yang tak berkesudahan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok turut mempengaruhi perdagangan Indonesia dengan dua negara yang bertikai tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor-impor Indonesia dengan Tiongkok dan AS pada periode delapan bulan pertama tahun ini mengalami penurunan.

Menurut data BPS, nilai ekspor nonmigas Indonesia pada Januari-Agustus 2019 ke Tiongkok tercatat sebesar US$ 10,3 juta atau turun 0,45% dibandingkan dengan periode yang sama 2018 (year on year/yoy). Sementara nilai ekspor nonmigas ke AS naik 0,48% menjadi sebesar US$ 7,6 juta yoy.

Dari sisi impor, nilai impor nonmigas Indonesia dari Tiongkok pada periode tersebut terlihat turun 8,75% yoy menjadi sebesar US$ 358,7 juta. Adapun nilai impor nonmigas ke AS juga tercatat menunjukkan penurunan sebesar 6,09% yoy menjadi US$ 47,1 juta.

Deputi Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Yunita Rusanti mengatakan perkembangan ekspor dan impor Indonesia pada tahun ini salah satunya dipengaruhi oleh perang dagang. "Secara tidak langsung ada pengaruhnya," ujar Yunita saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (16/9).

(Baca: Ekspor-Impor Lesu, Neraca Dagang Agustus Cetak Surplus US$ 85 Juta)

Menurut dia, pengaruh tersebut terlihat dari beberapa komoditas yang fluktuatif dalam kerjasama perdagangan dengan kedua negara tersebut, sebagai imbas dari perang dagang.

Secara rinci, terdapat lima komoditas ekspor Tiongkok yang mengalami penurunan drastis secara kumulatif pada Januari-Agustus 2019. Lima komoditas ini berdasarkan ekspor 15 komoditi utama HS2 digit ke Negeri Panda.

Kelima komoditas tersebut yakni komoditas kertas dan kertas karton yang turun paling drastis sebesar 45,69% menjadi US$ 258,05 juta dari US$ 475,12 juta. Kemudian, penurunan tertinggi kedua dialami oleh produk kayu dan barang dari kayu serta arang kayu sebesar 29,27% menjadi US$330,62 juta dari US$467,46 juta.

Produk karet dan barang dari karet yang turun 27,67% menjadi US$ 307,37 juta dari US$ 424,93 juta. Lalu aneka produk kimia yang turun 22,33% menjadi US$1,08 miliar dari US$1,39 miliar. Dan terakhir, bahan kimia organik sebesar 20,14% menjadi US$ 715,55 juta dari US$ 896,04 juta.

(Baca: Efek Perang Dagang bagi Ekonomi RI, Lebih Besar dari AS atau Tiongkok?)

Sedangkan untuk nilai ekspor nonmigas ke AS terdapat empat jenis komoditas yang mengalami kenaikan terbesar. Komoditas tersebut yakni mutiara alam atau mutiara budidaya yang naik 88,39%, kertas dan kertas karton naik 53,13%, barang dari kulit samak naik 48,22%, dan perabotan serta keperluan tidur naik 22,79%.

Sementara untuk impor dari Tiongkok, tercatat ada enam produk yang mengalami penurunan yaitu produk besi dan baja yang turun 9,51%, plastik dan barang dari plastik turun 2,3%, bahan kimia organik turun 2,7%, benda-benda dari besi dan baja turun 5,62%, alumunium turun 18,72%, dan komoditas lainnya turun 5,3%.

Untuk impor dari AS tercatat ada enam komoditas nilainya mengalami penurunan. Komoditas tersebut yakni biji-bijian berminyak yang turun 3,46%, ampas atau sisa industri makanan turun 7,01%, kapas turun turun 35,14%, berbagai produk kimia turun 26,54%, perangkat optik turun 21,42%, dan komoditas lainnya turun 22,74%.

(Baca: Impor Berkurang, Ekonom Proyeksi Neraca Dagang Agustus Surplus)

Reporter: Agatha Olivia Victoria