Paling Perkasa di ASEAN, Rupiah Menguat ke 14.245 per Dolar AS

Donang Wahyu|KATADATA
Nilai tukar rupiah menguat 0,56% ke posisi Rp 14.245 per dolar AS pada perdagangan di pasar spot sore ini, Rabu (14/8).
14/8/2019, 17.19 WIB

Nilai tukar rupiah menguat 0,56% ke posisi Rp 14.245 per dolar AS pada perdagangan di pasar spot sore ini, Rabu (14/8).

Adapun kurs refereksi Jakarta Interbank Spot Rated menempatkan rupiah di posisi Rp 14.234 per dolar AS, melemah dibandingkan Rp 14.283 per dolar AS.

Mengutip Bloomberg, Rupiah memimpin penguatan mata uang ASEAN sore ini. Ringgit Malaysia menguat 0,17%, peso Filipina menguat 0,01%, dong Vietnam naik 0,01%. Sementara dolar Singapura dan baht masing-masing melemah 0,23% dan 0,04%.

Sementara itu, yuan China menguat 0,37%, won Korea 0,77%, dan yen Jepang menguat 0,36%.  Euro dan poundsterling juga menguat masing 0,07% dan 0,19%.

Analis PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan penguatan rupiah pada perdagangan hari ini antara lain ditopang oleh sejumlah sentimen eksternal. 

"Rupiah hari ini ditutup menguat. Bandara Hongkong kembali beroperasi dan Presiden AS Donald Trump membatalkan tenggat waktu tarif impor Tiongkok hingga Desember menjadi faktor positif pendorong penguatan rupiah," katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (14/8).

(Baca: AS Tunda Tarif Baru Untuk Tiongkok, Bursa Asia Menghijau)

Bandara Hongkong kembali beroperasi pada hari ini, menjadwal ulang ratusan penerbangan yang telah terganggu selama dua hari terakhir. Penerbangan sempat terganggu ketika demonstran bentrok dengan polisi anti huru hara dalam krisis mendalam di kota yang dikuasai Tiongkok tersebut.

"Sepuluh minggu bentrokan yang semakin keras antara polisi dan pengunjuk rasa pro-demokrasi ini telah menjerumuskan pusat keuangan Asia ke dalam krisis terburuk sejak 1997," ucap dia.

Selain itu, faktor lainnya yakni penundaan pengenaan tarif 10% pada impor Tiongkok oleh Trump dinilai Ibrahim turut menjadi sentimen positif. Maka dari itu, negosiasi perdagangan antara AS dan Tiongkok dinilai telah maju dan berkembang.

(Baca: Terancam Resesi, Singapura Negara Penanam Modal Terbesar di Indonesia)

Di samping itu, menurut dia, terdapat pula hal negatif yang menahan pergerakan rupiah hari ini, yakni penurunan ekonomi Tiongkok yang makin nyata. Ia melanjutkan, Tiongkok mencatat penurunan laju pertumbuhan output industri di Juli ini berada di titik paling rendah selama 17 tahun terakhir.

Biro Statistik Nasional Tiongkok memaparkan output industri hanya tumbuh 4,8% jika dibandingkan pertumbuhan Januari-Juli tahun sebelumnya. Permintaan tercatat melemah, bukan hanya dari luar tapi juga di pasar domestik. Padahal, sebelumnya analis memperkirakan pertumbuhan output industri akan melambat menjadi 5,8%, dari pertumbuhan sebelumnya di Juni sebesar 6,3%.

Kemudian, pertumbuhan penjualan ritel juga lebih lemah bahkan dari perkiraan paling pesimistis sekalipun. Di Juli, pertumbuhan penjualan ritel Tiongkok hanya 7,6%. Padahal, di Juni angkanya mencapai 9,8% dan analis sempat memprediksi angkanya akan berada di level 8,6%.

Reporter: Agatha Olivia Victoria