Menko Darmin soal Perang Mata Uang: Kita Diamkan Saja Dulu

Arief Kamaludin (Katadata)
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebut setiap kebijakan AS dan Tiongkok akan berdampak pada perekonomian Indonesia.
Penulis: Michael Reily
Editor: Agustiyanti
6/8/2019, 19.14 WIB

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku pemerintah belum mengambil sikap terkait memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok yang berpotensi naik kelas menjadi perang mata uang. Saat ini, pemerintah masih mencermati dinamika ekonomi global tersebut.

"Namanya orang perang dagang (AS-Tiongkok), sudah jangan dihitung dampaknya per hari.  Mereka mungkin lima hari lagi berubah kebijakannya, Diamkan saja dulu, semua belum berhenti prosesnya," ujar Darmin di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (8/6).

Darmin mengakui setiap kebijakan kedua negara tersebut berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Efek jangka pendeknya, menurut dia, dapat terlihat pada nilai tukar rupiah. 

"Memang rupiah merosot, kita terpengaruh," jelas dia.

(Baca: Perang Mata Uang, Yuan Jadi Senjata Tiongkok Lawan Trump)

Menurut dia, melemahnya yuan dapat membuat produk China yang dijual atau diekspor ke negara lain lebih murah.  Namun, dampak tersebut juga tergantung pada posisi mata uang negara lain. 

"Masalahnya adalah pada waktu yuan melemah, itu banyak mata uang negara di dunia juga ikut melemah. Jadi, seperti apa? Ya kami tidak tahu ini polanya seperti apa. Kami cermati dulu," terang dia. 

Sementara itu, Ekonom Permata Bank Josua Pardede menduga pelemahan nilai tukar yuan merupakan kebijakan pemerintah Tiongkok guna memenangkan perang dagang dengan AS. "Upaya pelemahan nilai tukar merupakan salah satu opsi kebijakan dalam mempertahankan kinerja ekspor yang secara volume berpotensi turun karena dampak kenaikan tarif impor," ujarnya saat dihubungi Katadata.co.id.

Presiden Donald Trump meningkatkan tensi perang dagang pekan lalu dengan mengumumkan bahwa AS akan mengenakan pajak hampir pada setiap ekspor Tiongkok.  Usai pernyataan tersebut, pemerintah Negeri Tirai Bambu itu menyatakan akan melakukan penyesuaian untuk mengantisipasi dampak dari memanasnya perang dagang dengan AS.

(Baca: Perang Dagang AS-Tiongkok Berpotensi Menuju Perang Mata Uang)

Salah satu penyesuaian ini, dinilai Josua dilakukan dengan melemahkan nilai tukar yuan yang kemudian dapat memicu terjadinya perang mata uang.

"Pelemahan dari nilai tukar Tiongkok kemudian mendorong sentimen negatif di pasar keuangan negara berkembang sehingga mendorong koreksi domestik. Koreksi pun terjadi pada pasar saham, obligasi dan nilai tukar," kata dia.

Nilai tukar rupiah menjadi salah satu yang cukup terdampak, rupiah sempat melemah di level Rp 14.345-Rp 14.355 per dolar AS. Posisi tersebut melemah sekitar 2,35% dibandingkan akhir Juli lalu.

(Baca: Trump Tuding Tiongkok Manipulasi Mata Uang)

Ia pun menilai pemerintah perlu berupaya untuk menekan impor nonproduktif yang diharapkan juga mampu mendorong peningkatan daya saing ekspor  di bidang manufaktur. Hal ini juga turut disarankan oleh Peneliti Institute for Development and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira.

Pemerintah, dinilai Bhima harus memproteksi serbuan impor dari Tiongkok dikarenakan harga barang Tiongkok yang akan menjadi semakin murah dengan melemahkanya yen. Selain itu, BI juga harus menyiapkan langkah stabilisasi nilai tukar antara lain melalui intervensi dengan menggunakan cadangan devisa.

"Serbuan impor bisa memukul produsen lokal khususnya di sektor manufaktur. Maka dari itu harus dibatasi," pungkas dia.

Reporter: Michael Reily