Sinyal Bank Indonesia yang akan menurunkan suku bunga acuan, mendapat beragam respon di kalangan analis. Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto mengatakan, aksi ini bisa terwujud kalau bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, masih bersikap konservatif atau dovish.
"Sebenarnya jika The Fed masih memiliki arah moneter yang dovish, itu perlu direspons oleh otoritas moneter domestik dengan melakukan pelonggaran kebijakan moneter," kata dia kepada Katadata.co.id, Senin (4/3).
Menurut dia, penurunan bunga acuan diperlukan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi melalui investasi. Selain itu, penurunan bunga acuan juga perlu untuk menjaga stabilitas nilai tukar dengan tetap menjaga daya tarik pasar keuangan domestik.
Ia menilai turunnya bunga acuan tidak akan memberikan banyak pengaruh apabila dilakukan secara perlahan. Namun, ia memastikan penurunan akan langsung terefleksi pada suku bunga di industri keuangan.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam menilai BI perlu mewaspadai aksi bank sentral AS. Kalau The Fed menurunkan suku bunganya, maka BI dapat melakukan hal serupa. Selain itu, penurunannya juga dapat dipicu jika kondisi domestik, nilai tukar, dan inflasi rendah.
"Di luar kondisi itu, menurut saya terlalu berisiko bagi BI menurunkan bunga acuan," ujarnya.
Apabila BI menurunkan bunga acuan ditengah bunga acuan Fed Fund Rate yang stabil, ia memperhitungkan selisih bunga acuan (interest rate differential) akan menyempit. Imbasnya, dana asing berpotensi balik menuju AS dan menekan pasokan dolar dalam negeri. Artinya, rupiah dapat kembali melemah terhadap dolar AS.
Adapun, Piter menilai BI sebaiknya fokus pada perbaikan neraca pembayaran dibandingkan dengan penurunan bunga acuan. "Untuk menurunkan bunga acuan, diperlukan kebijakan jangka panjang memperbaiki struktur neraca pembayaran," ujarnya.
Sementara itu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut BI berpeluang menurunkan bunga acuan bila kondisi ekonomi dalam negeri terjaga. Ia mengungkapkan hal ini untuk menjawab pertanyaan mengenai arah kebijakan bunga acuan selanjutnya.
"Ke depan, arah bunga acuan lebih turun kalau stabilitas (ekonomi) terjaga," kata dia. Ia juga menyampaikan bahwa posisi bunga acuan BI memang hampir mencapai puncaknya.
Perry pun optimistis terhadap situasi ekonomi tahun ini. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan tumbuh 5,2% ditopang oleh konsumsi yang tumbuh sebesar 5,2%. Sementara itu, investasi diperkirakan tumbuh 6,7%, sedangkan net ekspor diperkirakan masih negatif.
Adapun Inflasi diperkirakan lebih rendah, yaitu di bawah 3,5% dan nilai tukar rupiah stabil meski posisinya saat ini masih terlalu murah (undervalued). Terjaganya nilai tukar rupiah juga didorong oleh aliran masuk modal asing yang lebih besar daripada tahun lalu.
(Baca: Ekonom Sebut Beberapa Faktor Bisa Dorong Pemangkasan Bunga Acuan BI)
Di sisi lain, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan tidak ada alasan bagi BI untuk menahan bunga acuan yang tinggi lantaran inflasi yang sudah terkendali rendah. Akan tetapi, bila dilihat dari defisit transaksi berjalan, BI perlu berhati-hati dalam memutuskan kebijakan bunga acuan.
Adapun, BI menargetkan defisit transaksi berjalan ke arah 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). "Bila dilihat dari situ, memang BI berhati-hati. Tapi BI tahun ini tidak punya ruang yang longgar," ujarnya.
(Baca: JK Minta Pelaku Usaha Tak Ragu Berinvestasi di Tahun Politik)
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga meminta BI menurunkan bunga acuan sebagai salah satu cara untuk menarik investasi ekspor, khususnya manufaktur. Saat ini BI masih mempertahankan bunga acuannya pada level 6%.
Kondisi ekonomi global sejak awal tahun mulai tenang setelah bergejolak pada 2018. Bank sentral India sebelumnya telah memangkat bunga acuannya karena melihat potensi perlambatan ekonomi. perlambatan ekonomi.