Perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok terus berlanjut. Ekonomi Negeri Tirai Bambu tercatat tumbuh sebesar 6,6% pada 2018, terendah dalam 28 tahun. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan prospek ekonomi global. Para ekonomi pun menyebut ada sederet dampak yang perlu diwaspadai Indonesia seiring perkembangan tersebut.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, setidaknya ada empat dampak yang perlu diwaspadai. Pertama, Tiongkok berpotensi mengurangi permintaan bahan baku dari Indonesia baik komoditas energi, tambang, perkebunan maupun perikanan, seiring pelemahan pertumbuhan ekonominya.
“Efeknya, kinerja (pertumbuhan) ekspor tahun ini diperkirakan hanya ada di kisaran 6-7%,” kata Bhima kepada katadata.co.id, Senin (21/1). Hal ini lantaran Tiongkok merupakan salah satu mitra dagang besar. Porsi ekspor Indonesia ke Tiongkok mencapai 15% dari total ekspor pada 2018 lalu.
(Baca: Tumbuh 6,6%, Ekonomi Tiongkok Sentuh Level Terendah dalam 28 Tahun)
Selanjutnya, melemahnya permintaan Tiongkok akan membuat pemulihan harga komoditas berlangsung lebih lama, baik komoditas minyak mentah, batu bara, minyak sawit, maupun karet. Ini artinya, pendapatan masyarakat yang bekerja di sektor komoditas khususnya di Kalimantan dan Sumatera tertekan. “Pertumbuhan ekonomi di daerah berbasis komoditas prospeknya turun,” kata dia.
Kemudian, dari sektor keuangan, ia memperkirakan investor akan mencari aman dengan mengalihkan dana ke surat utang dan mata uang yen Jepang. Kecenderungan ini, menurut dia, terlihat dari pergerakan nilai tukar rupiah yang melemah pada perdagangan Senin ini, setelah rilis data ekonomi Tiongkok tersebut.
Terakhir, ia memprediksi investor akan menunda masuk ke Indonesia lantaran melihat prospek pertumbuhan ekonomi global yang melambat. “FDI (Foreign Direct Investment/investasi asing langsung) pada 2019 sulit untuk diharapkan. Apalagi ada event Pilpres,” ujarnya.
Menurut dia, investor akan cenderung bersikap wait and see terhadap perbaikan data ekonomi Tiongkok. “Tapi Tiongkok unlikely (kemungkinan tidak) akan membaik dalam waktu dekat, selama perang dagang belum diakhiri,” ujarnya.
(Baca: Dorong Pertumbuhan Ekonomi, Indonesia Harus Fokuskan Sektor Manufaktur)
Meski begitu, ia optimistis pertumbuhan ekonomi masih bisa berkisar 5-5,1% dengan dukungan dari konsumsi domestik dan belanja pemerintah. “Dua itu yang bakal support,” kata dia.
Di sisi lain, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam berpendapat perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok memiliki dua dimensi yaitu dimensi negatif dan positif. Dimensi negatifnya, sejalan dengan penjelasan Bhima, yaitu terpengaruhnya kinerja ekspor.
Menurut dia, melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok mengindikasikan pertumbuhan ekonomi serta permintaan global di tahun ini akan tetap rendah. “Kondisi ini menegaskan bahwa akan sulit mengharapkan pertumbuhan ekspor indonesia yang cukup tinggi pada tahun ini,” ujarnya.
Ini pun melihat adanya hubungan antara perkembangan global ini dengan fokus pemerintah mengerem impor. Tahun ini, pemerintah membidik impor hanya tumbuh 7,1%, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tahun lalu yang diperkirakan sebesar 13,4%.
Kebijakan ini bukan hanya untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan, tapi juga menjaga pertumbuhan ekonomi. Sebab, impor ini merupakan faktor pengurang dalam perhitungan pertumbuhan ekonomi. “Pemerintah saya yakin sepenuhnya menyadari hampir tidak mungkin menaikkan ekspor. Yang bisa dilakukan hanyalah mengurangi impor,” ujarnya.
(Baca: Pemerintah Prediksikan Pertumbuhan Impor 2019 Hanya Separuh Tahun lalu)
Sementara itu, dimensi positifnya, perlambatan pertumbuhan ini akan mengundang respons dari pemerintah Tiongkok dalam bentuk kebijakan fiskal dan moneter yang lebih longgar. Respons kebijakan tersebut bersamaan dengan kebijakan longgar di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, akan berdampak positif mendorong aliran modal ke pasar keuangan negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
“Saya memperkirakan tekanan pelemahan nilai tukar rupiah akan relatif berkurang,” ujarnya.
Dengan perkembangan ini, ia pun memperkirakan, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3% tahun ini hanya akan tercapai bila pemerintah bisa memacu konsumsi dan investasi. Kebijakan inovatif yang dimaksud bukan hanya terkait perpajakan.
“Perlu tinjauan terhadap kebijakan moneter. Bagaimana agar kebijakan BI tidak terlalu kontraktif di tengah perlambatan pertumbuhan saat ini,” kata dia.