Nilai tukar rupiah sudah bertahan di bawah level 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS) dalam hampir dua bulan belakangan. Namun, beberapa ekonom memprediksi level tersebut berisiko kembali tertembus tahun depan. Menurut mereka, potensinya kecil rupiah kembali ke kisaran Rp 13.500 per dolar AS, seperti isyarat pejabat Bank Indonesia (BI).
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Pieter Abdullah mengatakan banyak faktor yang harus terjadi dulu untuk mendukung rupiah kembali ke kisaran Rp 13.500 per dolar AS. Faktor yang dimaksud di luar kendali BI, seperti berakhirnya perang dagang AS-Tiongkok. “Saya masih pegang proyeksi CORE di outlook yang lalu, rupiah 15.200 – 15.300,” kata dia kepada katadata.co.id beberapa waktu lalu.
Ekonom PT Bank Maybank Indonesia Tbk Myrdal Gunarto juga melihat belum ada peluang rupiah kembali ke kisaran Rp 13.500 per dolar AS. Hal itu dengan melihat kondisi neraca perdagangan (trade balance) dan neraca transaksi berjalan (current accunt). Defisit pada kedua neraca tersebut menunjukkan pasokan valas dari ekspor tak mampu menutup kebutuhan valas untuk impor. “Dengan kondisi trade balance dan current account yang defisit, maka rupiah 13.500 per dolar AS tidak realistis,” ujarnya.
(Baca juga: BI Isyaratkan Ada Ruang Penguatan Kurs Rupiah Kembali ke Posisi 13.500)
Ditambah lagi, menurut dia, arus keluar dana asing dari pasar keuangan masih berpotensi terus terjadi. Hal itu seiring dengan pengetatan moneter oleh bank sentral di negara maju seperti bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed), bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ), dan bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB). “Rupiah tahun depan di level 14.300-15.200,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira juga memprediksi rupiah bakal bergerak di kisaran Rp 15.000 per dolar AS tahun depan. Hal tersebut dengan mempertimbangkan lebarnya defisit neraca perdagangan dan faktor Pemilihan Umum (Pemilu).
“Kelihatannya sulit (rupiah kembali ke kisaran Rp 13.500 per dolar AS) karena Pemilu akan membuat penundaan beberapa investasi langsung dan portofolio asing serta defisit perdagangan masih melebar. Tahun depan Indef prediksi rupiah masih 15.000,” ujarnya.
(Baca juga: Risiko Volatilitas Tinggi di Pasar Keuangan pada Paruh Pertama 2019)
Sebelumnya, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah mengatakan masih ada ruang penguatan nilai tukar rupiah kembali ke posisi awal tahun 2018. Ini artinya, ke kisaran Rp 13.500 per dolar Amerika Serikat (AS). Hal tersebut dengan mempertimbangkan berbagai hal dari mulai ketidakpastian global yang berkurang hingga kerangka kebijakan moneter dan fiskal yang lebih kuat.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga sempat memprediksikan penguatan nilai tukar rupiah ke kisaran Rp 13.000 per dolar AS. Penyokongnya, aliran masuk dana asing ke pasar keuangan domestik. Maka itu, perlu upaya untuk menjaga momentum masuknya kembali dana asing, di antaranya lewat kebijakan BI mengerek bunga acuan total 175 basis poin.
Di sisi lain, ia mengatakan, perbaikan defisit transaksi berjalan diperlukan untuk meredam tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Tapi, perbaikan tersebut tidak bisa dilakukan dalam waktu cepat. "Saya duga dia (rupiah) akan masih bisa tembus ke 13.000 kalau didorong dengan baik. Walau tidak bisa 13.500, paling tidak bisa 13.700 atau 13.800 per dolar AS," kata dia awal Desember lalu.
(Baca juga: Dampak Rupiah Melemah: Bunga Utang dan Subsidi Bengkak Rp 46 Triliun)
Pada perdagangan di pasar spot, Rabu (26/12), atau setelah libur panjang Natal, rupiah tercatat berada pada rentang 14.570-14.609 per dolar AS. Level ini lebih lemah dibandingkan penutupan pada Jumat (21/12) pekan lalu yaitu Rp 14.552 per dolar AS.