Dampak Rupiah Melemah: Bunga Utang dan Subsidi Bengkak Rp 46 Triliun
Nilai tukar rupiah mengalami tekanan berat tahun ini seiring melebarnya defisit transaksi berjalan dan derasnya arus keluar modal asing dari pasar keuangan domestik. Pelemahan nilai tukar rupiah memberikan dampak positif dan negatif ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Negatifnya, lonjakan beban belanja di antaranya untuk pembayaran bunga utang dan subsidi hingga melebihi Rp 45,91 triliun dari target APBN 2018.
Kementerian Keuangan mencatat, realisasi pembayaran bunga utang mencapai Rp 252,06 triliun sepanjang Januari sampai November 2018. Ini artinya sudah lebih Rp 19,45 triliun dari target dalam APBN yang sebesar Rp 232,61 triliun. Pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditambah kenaikan imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN) jadi penyebab utama pembengkakan tersebut.
“Pembayaran bunga utang lebih tinggi antara lain karena kenaikan yield SBN seiring dengan kenaikan tingkat suku bunga The Fed (bank sentral AS) dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS,” demikian tertulis dalam laporan APBN Kita yang dirilis setiap bulan oleh Kementerian Keuangan.
(Baca juga: BI Isyaratkan Ada Ruang Penguatan Kurs Rupiah Kembali ke Posisi 13.500)
Sementara itu, realisasi subsidi mencapai Rp 182,69 triliun per akhir November. Ini artinya, realisasinya melampaui Rp 26,46 triliun dari target APBN yang sebesar Rp 156,23 triliun. Pelemahan nilai tukar rupiah juga punya andil dalam pembengkakan tersebut.
“Lebih tingginya realisasi belanja subsidi sampai dengan bulan November 2018 tersebut terutama disebabkan oleh realisasi belanja subsidi energi yang dipengaruhi pergerakan harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan nilai tukar rupiah, serta pembayaran kurang bayar belanja subsidi tahun-tahun sebelumnya,” demikian tertulis.
Realisasi nilai tukar rupiah memang telah jauh dari asumsi yang dipakai pemerintah dalam menyusun APBN yaitu Rp 13.400 per dolar AS. Kementerian Keuangan mencatat nilai tukar rupiah berada di posisi Rp 14.577 per dolar AS per akhir November, atau terdepresiasi 7,64% dibandingkan dengan posisi awal Januari (year to date/ytd).
(Baca juga: Risiko Volatilitas Tinggi di Pasar Keuangan pada Paruh Pertama 2019)
Sebelumnya, nilai tukar rupiah sempat menembus Rp 15.200 per dolar AS pada Oktober lalu. Ini artinya, pelemahannya sempat mencapai 12% (ytd). Pelemahan terjadi seiring melebarnya defisit transaksi berjalan dan arus keluar modal asing dari pasar keuangan domestik. Arus keluar dipicu ketidakpastian global seputar kenaikan bertahap bunga acuan AS, perang dagang AS-Tiongkok, hingga masalah geopolitik.