Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan investasi bisa mencapai 7,5% secara tahunan pada 2019. Perkiraan tersebut lebih tinggi dibandingkan kemungkinan realisasi tahun ini yaitu 7%. Hal tersebut ditambah konsumsi rumah tangga yang kuat diproyeksikan bakal membuat pertumbuhan ekonomi di level 5,2% tahun ini dan tahun depan.
Ekonom Utama untuk Bank Dunia di Indonesia Frederico Gil Sander memperkirakan faktor ketidakpastian yang menahan investasi hanya terjadi sebelum pemilihan umum presiden (Pilpres). “Jadi kami memperkirakan investasi cukup kuat tahun depan (setelah Pilpres berakhir),” kata dia dalam acara Indonesia Economic Quarterly di Jakarta, Kamis (13/12).
(Baca juga: Pertumbuhan Ekonomi AS Diproyeksi Melemah, Asia Bakal Terseret?)
Menurut dia, investasi infrastruktur masih akan kuat, terutama setelah Pilpres. Sementara itu, harga komoditas tinggi yang sempat terjadi pada tahun ini memberikan momentum pertumbuhan di sektor pertambangan dan sektor terkait lainnya. Hal ini akan mendorong investasi pada bidang tersebut.
Konsumsi rumah tangga yang merupakan kontributor utama pertumbuhan ekonomi diprediksikan tetap kuat. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga diproyeksikan sedikit meningkat dari tahun ini 5,1% menjadi 5,2% tahun depan.
(Baca juga: Tekanan Kurs Rupiah Mereda, Bank Dunia Ingatkan RI Agar Tidak Terbuai)
Namun, kinerja ekspor diperkirakan masih lemah. Pertumbuhan ekspor diperkirakan hanya sebesar 7,2% tahun depan atau lebih rendah dari proyeksi tahun ini 7%. “Gap antara perdagangan Indonesia dengan negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam telah meningkat. Ini menunjukkan peningkatan diversifikasi ekspor mereka (lebih baik) dibandingkan Indonesia,” ujar Frederico.
Di sisi lain, pertumbuhan impor diperkirakan bisa melambat menjadi 10,7% tahun depan, dari kemungkinan realisasi tahun ini yang sebesar 13,8%.
Seiring proyeksi tersebut, Bank Dunia memperkirakan defisit transaksi berjalan sebesar 2,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tahun depan, lebih rendah dari proyeksi tahun ini sebesar 2,9% terhadap PDB. Ini artinya, ada perbaikan ketidakseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing (valas) dalam aktivitas ekspor-impor.