Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan akan memperkuat bauran kebijakan pada 2019. Kebijakan moneter akan fokus untuk menjaga stabilitas. Sementara itu, kebijakan yang akomodatif akan ditempuh di bidang makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, dan ekonomi syariah.
Perry menjelaskan, kebijakan moneter yang antisipatif akan berlanjut untuk menjaga stabilitas, khususnya inflasi agar sesuai sasaran yaitu 2,5-4,5% dan nilai tukar rupiah sesuai fundamental ekonomi. "Kebijakan moneter yang pre-emptive dan ahead the curve akan dipertahankan di 2019,” kata dia dalam pidatonya pada Pertemuan Tahunan BI di Jakarta, Selasa (27/11).
Sepanjang tahun ini, kebijakan moneter yang antisipatif ditunjukkan BI dengan menaikkan bunga acuan total 175 basis poin ke level 6%. Kebijakan tersebut untuk merepons kenaikan suku bunga Amerika Serikat (AS) yang memicu pembalikan modal asing. Selain itu, untuk meredam defisit transaksi berjalan imbas peningkatan aktivitas ekonomi. Dengan begitu, stabilitas nilai tukar rupiah diharapkan terjaga.
(Baca juga: Jokowi: BI Tunjukkan Taringnya dengan Menaikkan Suku Bunga Acuan)
Ke depan, Perry meyatakan stabilisasi nilai tukar rupiah juga akan tetap dilakukan lewat jalur intervensi di pasar valuta asing dan pasar Surat Berharga Negara (SBN). “Terutama saat terjadi pembalikan modal asing,” ujarnya.
Adapun kecukupan cadangan devisa akan dijaga dan kerja sama bilateral dengan bank sentral negara lain, maupun kerja sama multilateral dalam Chiang Mai Initiative akan terus diperkuat. Kerja sama penggunaan mata uang lokal dalam transaksi perdagangan dan investasi di kawasan juga akan diperluas. Selain itu, kecukupan likuiditas di pasar uang dan perbankan juga akan dijaga.
Sementara itu, kebijakan makroprudensial yang akomodatif akan ditempuh untuk mendorong intermediasi perbankan dalam pembiayaan ekonomi. Menurut Perry, Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) akan ditinjau dari waktu ke waktu untuk mendorong penyaluran kredit perbankan dan sekaligus memperluas pendanaan dan pembiayaan ekonomi melalui penerbitan surat-surat berharga.
Ketentuan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) juga akan dipantau untuk mendukung manajemen likuiditas perbankan. Lebih jauh, BI menyinggung tentang penyempurnaan rasio pembiayaan untuk UMKM dan pengembangan rasio pembiayaan untuk sektor prioritas, yaitu ekspor dan pariwisata.
Pengawasan juga akan diperkuat terhadap bank-bank besar dan korporasi yang sistemik, khususnya di sektor komoditas primer, properti, dan mempunyai utang luar negeri yang tinggi. Hal ini untuk menjaga ketahanan ekonomi.
(Baca juga: Gubernur BI Ungkapkan Tiga Tantangan Global Perlu Dicermati di 2019)
Kemudian, kebijakan sistem pembayaran akan terus dikembangkan untuk kelancaran, efisiensi, dan keamanan transaksi pembayaran nontunai maupun tunai, termasuk dalam mendukung ekonomi dan keuangan digital. Dari sisi nontunai, pengembangan infrastruktur dan instrumen akan terus dilakukan. Sedangkan dari sisi tunai, pengedaran uang akan terus ditingkatkan ke berbagai wilayah di Tanah Air.
Selanjutnya, akselerasi pendalaman pasar keuangan akan terus didorong untuk mendukung efektivitas kebijakan BI dan pembiayaan ekonomi secara lebih luas. Di pasar valas, volume transaksi dan penggunaan instrumen spot, swap, dan Domestik Non-Deliverable Forward (DNDF) terus didorong untuk meningkatkan likuiditas, efisiensi, dan market conduct dalam penentuan nilai tukar rupiah sesuai mekanisme pasar.
Demikian juga di pasar uang, volume transaksi dan penggunaan instrumen repo dan Interest Rate Swap (IRS) terus didorong untuk meningkatkan likuiditas, efisiensi dan market conduct di pasar uang antarbank dalam pembentukan yield curve di berbagai tenor.
"Kami meyakini kedalaman pasar uang akan mendukung semakin berkembangnya penerbitan dan transaksi surat-surat berharga jangka panjang dalam pembiayaan ekonomi," ujar dia.
Pendalaman pasar uang tersebut juga diperkuat dengan penerbitan regulasi market operator serta pengembangan infrastruktur Electronic Trading Platform (ETP), trade repository, dan pendirian Central Counterparty (CCP) untuk transaksi derivatif. Di sisi lain, BI akan terus berpartisipasi dalam berbagai instrumen pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur.
Terakhir, kebijakan yang akomodatif juga akan terus diterapkan untuk pengembangan ekonomi keuangan syariah. Ekonomi Syariah diharapkan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru di Indonesia.
Menurut Perry, pengembangan ekonomi syariah akan didorong melalui pengembangan ekosistem halal value chain, khususnya di sektor makanan, fashion, dan pariwisata. Selain itu, kapasitas usaha syariah di lingkungan pesantren akan kami tingkatkan melalui berbagai linkage usaha antar pesantren, termasuk melalui pengembangan virtual market.
BI juga akan menerbitkan Sukuk Bank Indonesia (SUKBI) sebagai instrumen moneter syariah yang dapat diperdagangkan sehingga memperkuat manajemen likuiditas perbankan syariah dan mendukung pengembangan instrumen keuangan syariah jangka panjang.