Dana asing mengalir deras ke pasar saham dan surat utang negara sejak akhir Oktober lalu. Imbas kondisi tersebut, nilai tukar rupiah menguat tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Adapun keberlanjutan aliran masuk dana asing bakal diuji menjelang akhir tahun. Hal itu seiring dengan kemungkinan kenaikan bunga acuan AS, Fed Fund Rate, pada Desember.

Beberapa ekonom menjelaskan faktor domestik dan global menjadi penyebab derasnya aliran masuk dana asing beberapa waktu belakangan. Faktor yang dimaksud seperti pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal III yang tetap kuat di atas 5%, imbal hasil surat utang negara yang menarik, hingga meredanya intensi perang dagang antara AS dengan Tiongkok.

Namun, aliran masuk dana asing bisa bersifat sementara. Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam menjelaskan potensi kenaikan Fed Fund Rate pada Desember bisa memengaruhi pergerakan dana asing.

"Sejauh mana keyakinan investor terhadap perekonomian domestik yang sesungguhnya akan terlihat pada momen perkiraan The Fed menaikkan suku bunga," kata dia kepada Katadata.co.id, Rabu (8/11).

(Baca juga: Banjir Dana Asing ke SUN, Nyaris Rp 20 Triliun Kurang dari Sebulan)

Pendapat senada disampaikan Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual. "Investor lihat risiko dan peluang. Kalau ada peningkatan risiko, investor bisa saja keluar, sifatnya hot money," ujar dia. Ia juga menyebut peluang kenaikan lebih lanjut Fed Fund Rate jadi salah satu yang dicermati.

Adapun dalam dua hari ini, 7-8 November waktu setempat, petinggi bank sentral AS menggelar rapat rutin untuk menentukan kebijakan moneternya. Namun, bila mengacu pada dot plot ekspektasi para petinggi bank sentral AS, Fed Fund Rate kemungkinan belum akan dinaikkan pada pertemuan ini, tapi pada pertemuan Desember mendatang.

Selain faktor global tersebut, David menjelaskan, faktor domestik juga turut memengaruhi keberlanjutan aliran masuk dan asing, di antaranya perkembangan defisit transaksi berjalan. Bila defisit transaksi berjalan dapat turun menjadi 2,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun depan, hal tersebut bisa jadi sentimen positif.

(Baca juga: Lima Sebab Menguatnya Kurs Rupiah dalam Waktu Cepat)

Defisit transaksi berjalan tercatat melebar pada tahun ini, bahkan mencapai batas aman yang dibidik pemerintah yaitu 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II lalu. Penyebabnya, tingginya impor di tengah lemahnya kinerja ekspor. Hal itu mencerminkan ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan valas dalam perdagangan internasional.

Kondisi defisit pada transaksi berjalan membuat kurs rupiah rentan gejolak lantaran pasokan valas jadi bergantung pada dana asing di pasar keuangan. Kerentanan ini memengaruhi pertimbangan investasi.

Mengacu pada data Kementerian Keuangan, kepemilikan asing atas surat utang negara terpantau terus menanjak sejak 19 Oktober, dari posisi Rp 847,82 triliun menjadi 867,55 triliun per 5 November. Ini artinya, terjadi aliran masuk dana asing sebesar Rp 19,73 triliun dalam periode tersebut. Sementara itu, di pasar saham, investor asing tercatat membukukan pembelian bersih (net buy) sebesar Rp 7,52 triliun sepanjang sebulan belakangan.

Seiring kondisi tersebut, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami tren penguatan. Saat berita ini ditulis, rupiah berada di level 14.585 per dolar AS atau yang terkuat dalam lebih dari dua bulan belakangan.